Sabtu, 13 Desember 2014

MENGINGAT KEMBALI DEKLARASI DJUANDA

Jumat, 12 Desember 2014 

JAKARTA (8/12/14)  www.pusluh.kkp.go.i id
Minggu ini tepatnya tanggal 13 Desember 2014 kita bangsa Indonesia kembali akan memperingati Hari Nusantara.  Tahun ini Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan menjadi lokasi puncak kegiatan Hari Nusantara.  Sebagai pengetahuan bagi kita, bagaimana sejarah asal muasal penetapan 13 Desember sebagai Hari Nusantara.
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar (kecuali Irian Jaya), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.[2] Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
Isi dari Deklarasi Djuanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
a.  Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
b.  Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan
c.   Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.  
  
Sumber: http://www.pusluh.kkp.go.id



Selamat Hari Nusantara 13 Desmber 2014: "Deklarasi Djuanda" 13 Desember Perjalanan Panjang Menuju Negara Kepulauan

16/12/2008 

“Deklarasi Djuanda” 13 Desember Perjalanan Panjang Menuju Negara Kepulauan
Oleh Suhana

Desember adalah bulan bersejarah bagi Indonesia dan dunia. Dua peristiwa yang mengubah rezim kelautan nasional dan internasional terjadi di bulan ini. Pertama, Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, dan kedua, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.

Dalam deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.

Deklarasi tersebut juga menyebutkan bahwa lalu lintas yang damai melalui perairan-perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin, selama tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.

Berdasarkan deklarasi tersebut maka mulai saat itu, fungsi laut antara tidak lagi sebagai pemisah antarpulau-pulau Indonesia, tetapi berubah menjadi alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan, dan pertahanan nasional. Presiden Abrurrahman Wahid kemudian menetapkan tanggal 13 Desember sebagai hari Kesatuan Nusantara Indonesia.

Selanjutnya, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 berlangsung di Montego Bay, Jamaika. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam konvensi itu memberikan pengakuan terhadap negara kepulauan.

Indonesia berjuang selama 25 tahun dan berhasil gemilang merebut pengakuan masyarakat internasional atas konsepsi negara kepulauan. Namun dalam perjalanannya, sampai sekarang ini, bangsa ini masih saja dihadapkan pada tidak adanya kesamaan visi dalam membangun negara kepulauan.

“Archipelagic Policy”
Berdasarkan kedua peristiwa kelautan tersebut, negara kepulauan Indonesia memiliki posisi geografis yang sangat strategis yang melintang di antara dua samudera besar, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dan di antara dua benua, yaitu BAsia dan Benua Australia. Indonesia memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam, baik di darat maupun di laut. Namun demikian, sampai saat ini berbagai keunggulan dan keunikan Indonesia tersebut belum termanfaatkan secara optimal.

Catatan penulis dari beberapa kali forum diskusi yang membahas permasalahan negara kepulauan—termasuk diskusi di Sinar Harapan--terdapat beberapa permasalahan krusial yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan. Pertama, bangsa Indonesia sampai saat ini belum memiliki kebijakan nasional tentang pembangunan negara kepulauan (archipelagic policy) yang terpadu. Kebijakan yang ada selama ini hanya bersifat sektoral, padahal pembangunan di negara kepulauan memiliki keterkaitan antarsektor yang tinggi.

Kedua, lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang arti dan makna Indonesia sebagai negara kepulauan dari segi geografi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Apalagi, itu belum ditunjang dengan sumber daya manusia yang andal. Saat ini Indonesia hanya memiliki 0,8% sumber daya manusia (SDM) kelautan yang lulus S1, S2, dan S3.

Ketiga, bangsa Indonesia sampai saat ini belum menetapkan batas-batas wilayah perairan dalam. Padahal, wilayah perairan dalam mutlak menjadi kedaulatan bangsa Indonesia. Artinya tidak boleh ada satu kapal asing pun yang boleh masuk ke perairan dalam Indonesia. Selain itu, bangsa Indonesia juga memiliki kedaulatan mutlak untuk mengelola sumber daya laut yang berada di wilayah perairan dalam.

Keempat, pertahanan dan ketahanan negara dari sisi matra laut yang mencakup: (1) belum optimalnya peran pertahanan dan ketahanan laut dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara; (2) ancaman kekuatan asing yang ingin memanfaatkan perairan ZEEI; (3) belum lengkapnya perangkat hukum dalam implementasi pertahanan dan ketahanan laut; (4) masih terbatasnya fasilitas untuk melakukan pengamanan laut; (5) makin meningkatnya kegiatan terorisme, perompakan, dan pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia; dan (6) masih lemahnya penegakan hukum kepada pelanggar hukum.

Menuju “Archipelagic State”
Ada lima tindakan yang mesti ditempuh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan. 
Pertama, meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek geopolitik dan geostrategis kepada seluruh komponen. Sebagai negara kepulauan, Indonesia selayaknya memiliki armada pengamanan laut yang andal dan kuat guna menjaga keutuhan NKRI dan sumber daya alamnya.
Kedua, mengubah orientasi pembangunan dari land based oriented menjadi archipelagic based oriented. Konsep archipelagic based oriented adalah mencakup darat, laut dan udara. Berdasarkan hal tersebut, strategi pembangunan 25 tahun ke depan harus berpatokan pada road map menjadi negara maritim yang besar, kuat, dan makmur, dan didukung oleh pertanian yang maju dan industri yang modern.

Ketiga, menentukan batas-batas wilayah perairan pedalaman dan menetapkannya dalam bentuk peraturan pemerintah. Dengan adanya penetapan batas-batas perairan dalam tersebut, kapal-kapal negara lain tidak diperbolehkan melewati perairan tersebut tanpa kecuali. Selain itu, perlu juga dikaji tentang potensi yang terkandung dalam perairan pedalaman.

Keempat, mengembangkan sistem pendidikan berbasis kelautan pada sistem pendidikan nasional. Pemerintah daerah juga perlu didorong untuk mengalokasikan dana yang cukup bagi pengembangan pendidikan dan pelatihan kelautan di wilayahnya dan menerapkan teknologi kelautan tepat guna kepada masyarakat khususnya nelayan.

Kelima, mempercepat penetapan garis batas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya di kawasan laut. Beberapa yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah perbatasan dengan Filipina, khususnya di sebelah Selatan Mindanao antara Pulau Merampit, Mianggas, dan Marore yang oleh Filipina dianggap berada di dalam perairan yang termasuk dalam persetujuan Amerika-Spanyol 1898. Walaupun arbitrase Max Huber 1928 telah mengakui bahwa Pulau Mianggas adalah Pulau Hindia Belanda yang kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia.

Selain itu, juga menetapkan garis batas yang menghubungkan antara batas batas laut wilayah antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka dan antara Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura, khususnya garis batasnya di sebelah barat Pulau Nipah sampai ke ujung Selat Malaka, dan di sebelah timur antara Batam dengan Changi.

Dalam memperingati Hari Nusantara ini hendaknya semua unsur masyarakat, politisi, pemerintah, aparat keamanan dan semua stakeholders kelautan lainnya dapat berperan aktif untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat. Orientasi pembangunan ekonomi nasional berbasis kepulauan sudah merupakan kebutuhan yang mendesak. Demi kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Penulis adalah Kepala Riset dan Kebijakan Kelautan pada Pusat Studi Pembangunan dan Peradaban Maritim.
Sumber: http://www.kkp.go.id
 

Selamat Hari Nusantara 13 Desember 2014: Poros Maritim Harus Ikuti Keberhasilan Deklarasi Djuanda

Sabtu, 13 Desember 2014 | 18:42

Jakarta - Poros Maritim Dunia yang digaungkan Presiden Joko Widodo mesti mengikuti keberhasilan diplomasi Deklarasi Djuanda yang berhasil menerapkan kepentingan Indonesia dalam regulasi tingkat internasional.
"Deklarasi Djuanda berhasil memenangkan national interest Indonesia dengan cara damai, meski berimpitan dengan kepentingan besar bangsa lain. Kepentingan kala itu adalah kedaulatan terhadap perairan laut di antara pulau-pulau," kata Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik di Jakarta, Sabtu (13/12).
Untuk itu, menurut dia, keteladanan terbaik warisan diplomasi Indonesia yang membanggakan bangsa Indonesia dan hasilnya masih dinikmati warga dunia hingga hari ini adalah Deklarasi Djuanda.
Selain itu, ujar dia, Deklarasi Djuanda mengajarkan batas kemuliaan penguasaan modal dan teknologi maritim sebuah bangsa adalah menghormati kedaulatan bangsa lain.
"Hal ini selanjutnya membuahkan perombakan tata kelola laut dunia menjadi lebih adil," katanya.
Ia juga menyatakan, Deklarasi Djuanda menyempurnakan pemahaman kepada dunia bahwa sumber daya agraria kepulauan Indonesia itu tidak saja di darat, bahkan objek reforma agraria lebih besar di laut.
Maka, lanjutnya, Deklarasi Djuanda seharusnya cukup mengajarkan cara memberantas kapal asing pencuri ikan secara tuntas dan bermartabat, serta mengajarkan bagaimana memilih prioritas poros maritim dan membangun tol laut.
"Yakni, menyambungkan antara keteladanan melindungi segenap bangsa dan seluruh wilayah Indonesia dengan pilihan kebijakan luar negeri," kata Riza.
Berdasarkan ensiklopedia dunia maya Wikipedia, Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh tig mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (archipelagic state) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.
Penulis: /JAS
Sumber:Antara
 

Selamat Hari Nusantara : 57 Tahun Deklarasi Juanda, Pemerintah Harus Ulang Kedigdayaan Diplomasi

Sabtu, 13 Desember 2014 | 19:52

Ilustrasi kapal perang milik TNI AL
                                Ilustrasi kapal perang milik TNI AL (sumber: wikipedia)
 
Jakarta - Hari ini, 57 tahun lalu, Deklarasi Djuanda diproklamasikan dan menjadi penanda dengan dijadikan sebagai Hari Nusantara.
Menurut Ketua Komite Pertimbangan Organisasi Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan, Deklarasi Djuanda telah berhasil membentuk kesatuan tanah-air-rakyat sebagai bangsa dan negara Indonesia.
"Karena dengan Deklarasi Djuanda, Indonesia menyatakan diri sebagai negara kepulauan, sehingga laut di antara kepulauan di Indonesia adalah milik Indonesia tidak seperti yang diatur dalam hukum kolonial. Dampaknya, bertambah luas negara Indonesia dan intervensi militer asing di wilayah Indonesia bisa dicegah," ujarnya di Jakarta, Sabtu (13/12).
Pada 1982 Deklarasi Djuanda diterima Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi Konvensi Hukum Laut (UNCLOS/United Nations Convention On The Law of The Sea).
Kini setelah 57 tahun Deklarasi Djuanda, kata Gunawan, pemerintah Indonesia harus mengulang kembali kedigdayaan diplomasi Indonesia yang telah teruji lewat Deklarasi Djuanda, KTT Asia Afria, dan Gerakan Non Blok.
Kedua, pemerintah wajib merealisasikan visi maritimnya dengan menjadikan laut untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik di sektor energi, pangan (perikanan), transportasi, pariwisata, dan perlindungan serta pemenuhan hak-hak nelayan.
Dia melanjutkan, salah satu bentuk realisasi visi maritim adalah memperkuat armada kapal TNI AL, Polisi Air dan Udara, Kementerian Kelautan dan Perikanan, nelayan, tranportasi dan logistik. Bahkan penguatan itu tidak hanya di level perairan nasional, tetapi juga perairan internasional.
"Penguatan ekspor haruslah seiring dengan penguatan TNI AL, kita tentu tidak ingin lagi ada kapal Indonesia dibajak di luar negeri," ujarnya.
Dia melanjutkan, salah satu bentuk keberhasilan visi maritim adalah ketika perikanan berhasil dalam semakin diragamkannya aneka konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal
"Menjadi kurang spirit, jika poros maritimnya Presiden Jokowi, dan kinerja Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan), jika tak diisi dengan semangat Deklarasi Djuanda. Karena deklarasi tersebut merupakan bentuk modern dari perwujudan Nusantara," ujarnya.
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/LIS
 

Selamat Hari Nusantara 13 Desember 2014.

57 Tahun Deklarasi Juanda (13 Des 1957-13 Des 2014)

Wilayah NKRI
Wilayah NKRI

Jika kami ditanya: apa keteladanan terbaik warisan diplomasi Indonesia yg membanggakan bangsa & buahnya masih dinikmati warga dunia hari ini? Jawabnya Deklarasi Juanda. Mengapa?

Pertama, Deklarasi Juanda berhasil memenangkan national interest Indonesia dengan cara damai, meski berhimpitan dgn kepentingan besar bangsa lain. Kepentingan (kala itu) adl kedaulatan thd perairan laut di antara pulau-pulau.

Kedua, Deklarasi Juanda mengajarkan batas kemuliaan penguasaan modal & teknologi maritim sebuah bangsa adl menghormati kedaulatan bangsa lain. Hal ini selanjutnya membuahkan perombakan tata kelola laut dunia menjadi lebih adil.

Ketiga, Deklarasi Juanda menyempurnakan pemahaman keagrariaan bangsa kita (dunia), bhw sumberdaya agraria kepulauan Indonesia itu tdk saja di darat, bahkan objek reforma agraria lebih besar di laut.

Maka, Deklarasi Juanda (seharusnya) cukup mengajarkan cara memberantas kapal asing pencuri ikan secara tuntas & bermartabat. Mengajarkan bgm memilih prioritas poros maritim & membangun tol laut. Yakni, menyambungkan antara keteladanan melindungi segenap bangsa & seluruh wilayah Indonesia dgn pilihan kebijakan luar negeri.
Keteladanan melindungi segenap bangsa di antaranya dgn memperkuat armada perikanan rakyat, pendidikan & kesehatan layak di pesisir, pulau-pulau kecil. Sedang keteladanan melindungi seluruh wilayah dgn tdk mengobral penguasaan asing atas sektor-sektor strategis yg menyangkut hajat hidup orang banyak: air, pangan, energi. Faktanya, tidak ada negara berhasil disegani bangsa lain di dunia, tanpa terlebih dahulu melayani dgn layak warga negaranya.

Setelah Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, Deklarasi Juanda 1957, kini kita punya Poros Maritim menyatukan imajinasi Indonesia. Indonesia yg diimajinasikan para pendiri bangsa membahagiakan setiap warga negara & warga dunia.
Selamat Hari Nusantara 13 Desember 2014.

Belum Jera, TNI AL Kembali Tangkap Kapal Ikan Ilegal di Anambas



Kapal-Ikan-Ilegal
Inilah kapal asing ilegal asal Thailand yang kedapatan mencuri ikan di ZEE Natuna, tak jauh dari perairan Anambas atau sekitar 15 mil dari perairan perbatasan Malaysia, Kamis (11/12) lalu. foto: Syahid/Batam Pos

ANAMBAS (BP) – Penenggelaman tiga kapal nelayan asing pekan lalu di Anambas ternyata belum membuat semua nelayan asing takut. Buktinya, KRI Sultan Hasanuddin menangkap dua kapal asing ilegal asal Thailand yang kedapatan mencuri ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna, tak jauh dari perairan Anambas atau sekitar 15 mil dari perairan perbatasan Malaysia, Kamis (11/12) lalu.
Komandan KRI Hasanuddin 366, Letkol Laut (P) Heri Tri Wibowo, mengatakan penangkapan tersebut merupakan tindak lanjut laporan nelayan, bahwa ada kapal asing yang berani mengejar kapal nelayan lokal di tempat biasa nelayan asing mencuri ikan.
”Setelah mendapatkan laporan dari nelayan, kita langsung melakukan pengejaran sekitar jam 10.20 WIB. Kapal pencuri ikan itu tertangkap radar 45 menit setelah pengejaran,” ujar Heri, kemarin.
Dari dua kapal itu, TNI AL berhasil mengamankan sejumlah barang bukti. Antara lain ratusan kilogram ikan hasil tangkapan. Alat tangkap yang digunakan, dan sejumlah dokumen lainnya. Selain itu, TNI AL juga mengamankan 18 anak buah kapal (ABK) dari kedua kapal tersebut.
”Masing-masing kapal ABK-nya 9 orang. Dua kapal jadi 18 orang,” sebut Heri. Heri menjelaskan, saat KRI Sultan Hasanuddin 366 berhasil mencegat, tidak ada perlawanan dari kedua kapal asing tersebut. Namun tiba-tiba kedua kapal itu berusaha melarikan diri.
Melihat kedua kapal asing itu berusaha melarikan diri, KRI Sultan Hasanuddin 366 terpaksa beberapa kali memberikan tembakan peringatan ke udara. ”Mungkin saat kita deteksi mereka tahu lalu berusaha kabur,” katanya.
Setelah kedua kapal asing itu menyerah, petugas lalu mengadakan pemeriksaan.
Dari pemeriksaan sementara tidak ditemukan adanya alat pengeboman ikan. Selain itu juga tidak ditemukan senjata tajam ataupun senjata api. Hanya ada ikan hasil tangkapan, alat tangkap, dan dokumen lainnya.
Dalam beraksi, kata Heri, satu kapal nelayan asing menggunakan bendera Indonesia dengan nama kapal KII KM Tanjungpura 02. Sedang satu lagi kapal yang tertangkap tidak menggunakan bendera dari negara manapun. Meski berbendera Indonesia, KII KM Tanjungpura 02, semua anak buah kapalnya warga negara Thailand.
Kedua kapal itu telah diserahkan ke Lanal Tarempa. ”Tindak lanjut ada di Lanal. Berkas nanti kita limpahkan di Lanal Tarempa,” kata Heri.
Menurut Heri, operasi penangkapan kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia adalah arahan langsung dari Pangarmabar. Operasi ini juga merupakan tindak lanjut  pengamanan perairan Indonesia dari illegal fishing.
Sementara itu Komandan Lanal Tarempa Letkol Laut (P) Tomy Erizal, mengatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti masalah ini sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ia juga mengaku mendapatkan laporan adanya nelayan lokal yang dikejar nelayan asing. Kebetulan warnanya juga biru seperti kapal yang baru saja ditangkap. ”Kemungkinan ini kapal yang mengejar nelayan kita,” ungkapnya.
Nelayan lokal memang kerap mendapat perlakuan tidak meyenangkan dari kapal asing yang mencuri ikan di perairan Anambas dan Natuna. Terutama nelayan-nelayan asing dari Thailand. Mereka tak segan-segan melukai nelayan maupun petugas jika mendekat. Apalagi nelayan-nelayan Thailand banyak yang mantan penjahat yang pernah dipenjara di negara asalnya.
Informasi yang dihimpun koran ini, banyak nelayan asing asal Thailand yang bernyali besar mencuri ikan di perairan Natuna dan Anambas karena memiliki kapal dan alat tangkap yang canggih. Kapal-kapal mereka juga dilengkapi bahkan dilapisi baja di bagian lambung, sehingga tembakan senapan biasa tidak bisa menembus plat baja itu.
Selain itu, mesin-mesin kapal yang mereka gunakan berkecepatan tinggi yang memungkinkan mereka kabur saat akan disergap. Kapal-kapal itu tidak akan terkejar kecuali menggunakan kapal perang (KRI). (sya)

Yang terlewatkan: Ketika Jokowi Berguru Ke Xi Jinping - Saya Mau Obrak-Abrik...

Arif Budisusilo Sabtu, 22/11/2014 11:07 WIB

Ada momen yang tidak biasa dalam acara Banker's Dinner, yang digelar Bank Indonesia, Kamis (20/11) malam, beberapa waktu lalu.
Acara Pertemuan Tahunan Perbankan yang lazimnya hanya diisi Pidato Tahunan Gubernur Bank Indonesia itu, kali ini istimewa.
Pertama, agaknya baru kali ini Banker's Dinner diselenggarakan bertempat di luar gedung Bank Indonesia, yakni di Balai Sidang Jakarta. Kedua, ada tamu istimewa, Presiden RI Joko Widodo.
Sebagai inti acara, Gubernur BI Agus Martowardojo, seperti biasa, menyampaikan pokok-pokok kebijakan perbankan, sekaligus proyeksi ekonomi 2015.
Pak Gubernur memaparkan banyak hal, mulai dari ekonomi dunia yang hanya diterbangkan oleh satu mesin --normalisasi ekonomi Amerika-- lalu kebijakan perbankan, hingga kebijakan domestik terkait subsidi BBM.
Tak lupa, Gubernur BI menjelaskan respons kebijakan moneter yang disebutnya pre-emptive policy, dengan menaikkan BI Rate segera sebesar 25 basis poin, pascakenaikan harga bahan bakar minyak. Tujuannya untuk mencegah agar laju inflasi tidak melonjak kebablasan.
Istilah pre-emptive itu mengingatkan saya saat ketegangan di Irak memanas beberapa tahun lalu. Para petinggi sekutu Amerika kerap menggunakan istilah pre-emptive strike, yang kerap dilakukan dengan serangan bombardir udara, untuk menakut-nakuti Irak. 
***
Tapi Pidato Presiden Jokowi--panggilan akrab Joko Widodo-- tak kalah menarik, bahkan menyedot perhatian, meski hanya berlangsung singkat, dan 'maaf': tidak terstruktur.
Presiden Jokowi berbicara sekitar 15 menit tanpa teks, dan ceplas-ceplos, tidak banyak basa-basi. "Pidato Presiden langsung ke pokok persoalan," kata Presiden Direktur Commonwealth Bank Tony Costa.
Apa sih yang disampaikan Presiden Jokowi? Tak terlalu baru sebenarnya. Tetapi Presiden mengemas dengan cara yang agak berbeda. Bacaan saya, ada pesan strategis yang hendak disampaikan, meski implisit, dan halus.
Setelah sedikit menyampaikan greetings kepada tetamu yang hadir --para bankir, pemilik bisnis, petinggi lembaga negara, para menteri, hingga para gubernur kepala daerah -- Pak Jokowi bercerita saat bertemu dengan para pemimpin dunia di Beijing, pekan kedua November lalu.
Jokowi memulai dengan pernyataannya soal keajaiban ekonomi China. "Bertahun-tahun saya tanda tanya dengan meroketnya Tiongkok sebagai raksasa ekonomi dunia. Mengapa begitu, padahal dia komunis, bukan kapitalis," kata Jokowi.
Seperti kita tahu, ekonomi China tumbuh di atas 7% beberapa tahun terakhir, setelah sebelumnya tumbuh di kisaran di atas 10%, bahkan 12% per tahun.
Lantas Presiden bercerita, dalam kesempatan pertemuan APEC di Beijing, ia selalu duduk berdampingan dengan Presiden China Xi Jinping.
Sembari mengangkat tangan dan menunjukkan empat jarinya, Presiden menceritakan posisi duduknya, yang selalu dalam formasi di antara Presiden Xi dan Presiden AS Barack Obama, dan di sisi lainnya Presiden Putin dari Rusia.
"Pas acara makan, saya bertanya; Presiden Xi, saya mau tanya, beri tiga kunci sukses kenapa Tiongkok bisa sukses meloncat. Tiga saja," katanya.
Atas pertanyaan Jokowi itu, Presiden Xi menyampaikan jawaban: pertama adalah partai yang bersatu. "Nah, ini yang sulit," kata Jokowi disambut tawa para undangan Banker's Dinner.
Kalau partai tidak bersatu, dia mengutip Presiden Xi, bagaimana membuat visi yang sama ke depan.
Kedua, gagasan besar. Gagasan, rencana, mimpi. Caranya? Tugas pemimpinlah untuk mengembangkan gagasan besar, dan melaksanakannya.
Misalnya bikin pelabuhan, jangan hanya untuk kegunaan 10 tahun, tetapi 50 tahun dan 100 tahun ke depan. Jangan hanya 10 hektar, tetapi 1500 hektar dan 2000 hektar; agar tidak perlu repot pembebasan lagi saat diperlukan ekspansi di kemudian hari
Dia memberi contoh pembangunan MRT yang saat ini sedang dikerjakan, biayanya mahal sekali karena untuk membebaskan lahan butuh sedikitnya Rp20 juta atau 40 juta per meter persegi. Ada yang Rp60 juta, bahkan.
MRT adalah sistem transportasi massal berbasis kereta yang sekarang sedang dibangun di Jakarta.
Ketiga, segera membangun infrastruktur untuk konektivitas. Infrastruktur konektivitas ini penting, antarkota, antarprovinsi, antarpulau. Membangun jalan jangan yang kecil-kecil, tetapi yang besar-besar. "Coba deh kalau 26 tahun lalu kita sudah membangun MRT dan jalan yang besar, ongkosnya jauh lebih murah."
Dalam kaitan itu pulalah, Presiden menjelaskan, pengalihan subsidi BBM dilakukan, meski berdampak pada kenaikan harga BBM. Pemerintah ingin memiliki kesempatan lebih besar membangun infrastruktur dasar termasuk waduk (bendungan) dan jalan.
"Bayangkan, uang subsidi Rp300 triliun setahun, kalau untuk membangun waduk masing-masing butuh biaya Rp500 miliar, setiap tahun bisa bangun berapa waduk, 1.200 waduk lebih. Dalam lima tahun, negeri ini bisa-bisa dipenuhi waduk," katanya beranalogi, yang disambut gerrrr hadirin.
***
Resep Xi Jinping itu tampaknya hendak dan sudah disadur oleh Jokowi.
Sembari tampak ingin mengingatkan bahwa 'kapitalisme' telah menjadi cara China memajukan negeri komunis itu, Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia juga harus siap membuka investasi dari luar lebih besar lagi. "FDI harus digenjot," katanya.
FDI adalah investasi asing yang langsung dipakai untuk membangun pabrik-pabrik, kebun, atau bangunan fisik lainnya, termasuk infrastruktur.
Investasi inilah yang akan dijadikan andalan untuk menggenjot pembangunan, karena ia akan menciptakan banyak lapangan kerja, yang berarti mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Jokowi menegaskan, nggak perlu khawatir terhadap investasi asing langsung, karena investor asing itu tidak mungkin membawa pulang kembali jembatan, pelabuhan atau jalan yang telah dibangun di Indonesia.
Pada akhirnya, kata Jokowi, aset tersebut adalah milik Indonesia. "Saya tanya kepada wakil ketua PKC, kok nggak khawatir dengan investasi asing?"
Jokowi memperoleh jawaban memuaskan. "Mosok bikin jalan, pelabuhan, dibawa pulang ke negara mereka. Mosok bikin pabrik, pabriknya dibawa pulang?" kata Jokowi menirukan ucapan pejabat PKC itu.
PKC adalah Partai Komunis China, parpol penguasa negeri, yang telah mereformasi China menjalankan sistem ekonomi pasar sosial seperti sekarang ini.
Karena itu, kata Jokowi pula, yang penting saat ini adalah memberikan berbagai kemudahan dalam berbisnis di Indonesia, termasuk perizinan.
"Perizinan di kita lambat. Bukan lambat lagi, tapi sangat lambat," ujarnya.
"Mosok, mau bikin power plant, 6 tahun belum dapat izin?" lanjut Jokowi.
Dia pun bercerita, saat bertemu di sebuah hotel belum lama ini, Jokowi bertanya kepada pengusaha yang ingin membangun pembangkit listrik (power plant). "Saya tanya, berapa bulan dapat izin, dijawab, sudah dua tahun belum dapat izin Pak," kata Jokowi.
Tapi ternyata waktu terus 'bertambah'. Dalam pertemuan di Jakarta dengan anggota Kadin, dia mendapatkan jawaban lain lagi," Sudah 4 tahun belum dapat."
Di Sumatera Selatan, bertambah lagi. "Saya tanya, dijawab 6 tahun belum dapat izin."
"Saya sekarang tak mau tanya lagi... nanti bisa-bisa dijawab 8 tahun," seloroh Pak Jokowi.
Karena itu, proses perizinan menjadi salah satu fokus perhatiannya. "Ini yang saya mau obrak-abrik. Izin itu apa sih? Tulisan di atas kertas. Tinggal di-tik, saya sudah coba, lima menit selesai," katanya.
Ia pun bercerita, izin pembangkit listrik di Palembang sudah diurusnya, dan seminggu selesai. "Mosok Presiden urus izin-izin. Tapi nggak papa, kalau yang susah-susah, tak urus saja," lanjutnya. 
***
Tampaknya, seperti diakui oleh Jokowi, mungkin yang paling sulit dari tiga resep Xi Jinping itu adalah resep nomor satu: partai politik yang bersatu.
Kita tentu sudah tahu, rivalitas dua kubu di parlemen, yakni Koalisi Metrah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat begitu sengit. Koalisi Merah Putih yang bertindak sebagai oposisi saat ini dominan, suara mereka jauh di atas Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Jokowi.
Namun, Presiden optimistis, kondisi politik akan semakin stabil beberapa bulan ke depan.
Saat ini, katanya, dukungan politik di parlemen masih sekitar 38% anggota DPR yang medukung Jokowi. "Tapi dalam 6 bulan, syukur bisa 60%, 70% bahkan 80%," katanya optimistis.
Jokowi pun buru-buru menyambung; tak perlu memperoleh dukungan politik sampai 100%, karena negara tetap harus ada check and ballance.
Nah, bagaimana menurut Anda? (@absusilo)
 

Penenggelaman Kapal Asing

Jumat, 12 Desember 2014 | 14:00 WIB

Oleh: M Riza Damanik
KOMPAS.com - Enam tahun lalu kapal Eka Sakti milik Sahring—nelayan asal Nusa Tenggara Timur—dibakar dan ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Australia atas tuduhan melanggar Undang-Undang Pengelolaan Perikanan Australia 1991.

Belakangan Pengadilan Federal Australia, 1 April 2014, mengeluarkan keputusan membebaskan Sahring dari sanksi dan mendapat ganti rugi 44.000 dollar Australia. Sayangnya, tidak ada reaksi apa pun dari Pemerintah Indonesia terhadap kasus ?Sahring versus Australia? yang sempat populer ini. Padahal, kasus ini memberi pelajaran bahwa penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan di laut teritorial suatu negara bukanlah hal baru dalam penegakan hukum di laut. Namun, tindakan semacam itu tetap harus dilakukan dengan benar dan profesional.

Secara legal formal pencurian ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia dapat dikategorikan kejahatan luar biasa. Paling utama: pelanggaran kedaulatan. Merujuk kepada Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, masuknya kapal ikan asing secara ilegal di laut teritorial Indonesia dapat dikategorikan membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan nasional (Pasal 19). UU No 31/2004 yang diperbarui dengan UU No 45/2009 tentang Perikanan menyebutkan, aksi pencurian ikan tergolong tindak pidana. Hukumannya tak hanya berlaku bagi operator di atas kapal, tetapi juga dapat menjerat pemilik kapal dan pemilik perusahaan (Pasal 8). Kapal asing pencuri ikan juga boleh dibakar dan ditenggelamkan (Pasal 69), bahkan membayar denda hingga Rp 20 miliar (Pasal 93).

Kejahatan yang berulang

Celakanya, 10 tahun sejak diundangkan, peraturan itu minus implementasi. Lemahnya penegakan hukum di laut telah menyuburkan pencurian ikan. Saban tahun sekitar 30 persen dari total 10 miliar-23 miliar dollar AS kerugian dunia akibat pencurian ikan di perairan Indonesia.

Puncaknya, proporsi konsumsi rakyat Indonesia terhadap protein hewani yang berasal dari ikan hanya 54 persen. Angka ini lebih rendah daripada Banglades (56), Sri Lanka (57), Kamboja (65), dan Maladewa (71) (FAO, 2014). Sebesar 40-50 persen dari total 3,6 juta ton kapasitas terpasang industri perikanan Indonesia gagal berproduksi karena kekurangan bahan baku. Akibatnya, sektor kelautan gagal membuka 10 juta lapangan pekerjaan baru untuk penangkapan, pengolahan, dan pemasaran.

Penelitian Walhi pada 2008, Menjala Ikan Terakhir, mengungkap bahwa dalam kurun 20 tahun terakhir telah terjadi kontinuitas kejahatan perikanan di laut Indonesia. Asal pencuri ikan secara konsisten 10 negara. Enam merupakan anggota ASEAN (Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar) dan empat: Tiongkok, Korea, Taiwan, dan Panama. Aksi pencurian ikan konsisten di 18 lokasi. Lima titik di laut bagian barat dan 13 lokasi di timur Indonesia. Modusnya tak ada yang baru: penggandaan izin, penggunaan bendera Indonesia, nama kapal berbahasa Indonesia, mempekerjakan ABK asal Indonesia, dan bekerja sama dengan oknum aparat hukum Indonesia.

Presiden Joko Widodo menyebut 5.400 kapal asing bebas mencuri di laut Indonesia (Kompas, 19/11). Jumlah ini hampir sama dengan total izin penangkapan ikan yang dikeluarkan pemerintah hingga akhir 2014. Instruksi Presiden Jokowi menenggelamkan kapal asing yang mencuri di perairan Indonesia, pertama, harus disambut dengan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum di laut. Tindakan tegas itu tak boleh bertentangan dengan konvensi internasional, termasuk hak universal pelaku kejahatan pencurian ikan. Pemerintah Indonesia juga wajib menyelenggarakan peradilan jujur, bebas dari penyiksaan, dan menyegerakan pemberitahuan ke kedutaan besar negara asal pemilik kapal bersangkutan.

Kedua, bobot diplomasi luar negeri Indonesia harus dibenahi, setidaknya memastikan agar aksi penenggelaman kapal ikan asing tak disalahartikan sebagai aksi premanisme. Namun, semata-mata melindungi kepentingan nelayan dan menjamin keberlanjutan pengelolaan ikan di dunia.

Terakhir, pengoptimalan partisipasi masyarakat nelayan. Tingginya ongkos patroli di laut, terbatasnya ketersediaan bahan bakar minyak dan armada patroli, hanya dapat terselesaikan dengan mengoptimalkan peran aktif organisasi nelayan melindungi wilayah perikanannya. Di sinilah Presiden Joko Widodo dapat memprioritaskan lahirnya peraturan pemerintah tentang pengawasan perikanan, keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan, seperti diamanatkan UU Perikanan.

Dengan begitu, perintah menenggelamkan kapal ikan asing akan memberi efek jera, memulihkan kedaulatan, sekaligus memperkuat eksistensi nelayan Indonesia di laut.
M Riza  DamanikDirektur Eksekutif IGJ; Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia.

Sumber: http://nasional.kompas.com 
 

Jumat, 12 Desember 2014

Pemerintah Diminta Tangkap "Dalang" Pencuri Ikan





TENGGELAMKAN KAPAL TIDAK BERIKAN EFEK JERA
Jumat, 12/12/2014
NERACA
Jakarta – Dalam beberapa hari terakhir, pemerintah tengah gencar melakukan aksi penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Namun begitu, Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik menyebutkan bahwa penenggelaman kapal tersebut tidak akan memberikan efek jera. Pasalnya yang dibakar oleh pemerintah adalah perahu-perahu kecil dan yang ditangkap hanya operator kapal tersebut yaitu nahkoda dan Anak Buah Kapal (ABK).
Padahal, kata dia, pemerintah mempunyai kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Kelautan untuk memberikan sanksi denda sebesar Rp20 miliar atau kurungan selama 6 tahun. “Kita cukup mengapresiasi reaksi pemerintah dalam memberantas pencuri ikan. Akan tetapi jika yang ditangkap operator kapalnya maka itu akan sia-sia saja karena pencurian ikan bisa dikatakan sebagai kejahatan yang tersistem. Harusnya si pemilik kapal atau pengusahanya yang ikut bertanggungjawab,” ucap Riza dalam diskusi di Jakarta, Kamis (11/12).
Dia menduga pemerintah dalam menegakkan hukum juga masih tebang pilih. “Kapal-kapal kecil dibakar akan tetapi kapal besar hanya diperingatkan. Ini ada model-model tebang pilih dan hal ini akan menambah keyakinan bahwa praktek pencurian ikan di Indonesia itu melibatkan orang-orang kunci di Indonesia apakah itu aparat hukum, kementerian terkait atau bahkan pengusahanya,” jelasnya.
Riza menduga kapal-kapal kecil yang dibakar oleh pemerintah adalah kapal-kapal yang memang sudah ilegal di negaranya masing-masing sehingga daripada dikembalikan ke negaranya akan memakan ongkos maka negara tersebut membiarkan kapalnya ditenggelamkan. “Dan saya rasa kapal-kapal bekas itu banyak sekali diperairan Natuna. Mungkin saja kapal-kapal itu dipreteli lalu dihancurkan oleh pemerintah. Padahal itu memang pemilik kapal ilegal itu sengaja tertangkap di Indonesia daripada membawanya ke negaranya karena kerugiannya lebih sedikit,” duganya.Next
Pemerintah pun serius untuk menenggelamkan kapal-kapal asing yang mencuri ikan di Indonesia. Bahkan pemerintah menargetkan akan menenggelamkan 100 kapal asing pencuri ikan di laut Indonesia, setelah sebelumnya 3 kapal Vietnam yang ditenggelamkan di laut Anambas, Kepulauan Riau. “Sektor maritim akan ada lagi penangkapan dan penenggelaman 100 kapal lagi untuk menyampaikan pesan, kita serius," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil.
Kapal Ilegal
Namun begitu, Ditemui di tempat yang sama, Direktur Geopolitik Pusat Studi Sosial dan Politik Indonesia Suryo AB menilai penenggelaman kapal asing ilegal bukan satu langkah yang benar dan legal, bahkan bisa menjadi buah simalakama. Menurut dia, ada potensi pelanggaran Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). “Memang ada aturan tertulis tentang hal ini, tapi kita juga memiliki perjanjian bilateral,” kata Suryo.
Suryo mengatakan kapal asing yang memasuki perairan Indonesia tidak hanya mewakili perusahaan atau perseorangan. Mereka, ujar Suryo, juga merepresentasikan kedaulatan negara asalnya. Dia menilai penenggelaman dengan semena-mena dapat memberi kesan Indonesia tidak menghargai kedaulatan negara lain. "Ketimbang terus-terusan menenggelamkan kapal negara yang melanggar perjanjian bilateral, alangkah baiknya jika duduk bersama dan membicarakan perjanjian laut," tuturnya.
Selain itu, kata Suryo, Indonesia bisa melanggar ketentuan UNCLOS karena aparat yang menangkap kapal ilegal tidak sesuai dengan aturan tersebut. Dalam klausul UNCLOS, ujar dia, aparat yang berhak menangkap kapal asing adalah sea end guard. Di Indonesia, kapal asing ditangkap oleh banyak pihak, dari Kementerian Kelautan, TNI Angkatan Laut, hingga polisi. "Seharusnya diintegrasikan menjadi satu badan legal.
Meski begitu, Suryo mengakui ada kerugian negara hingga Rp 90 triliun yang diakibatkan pencurian ikan. Menurut dia, kapal-kapal ilegal yang selama 20 tahun beroperasi secara ilegal di perairan Indonesia berasal dari negara ASEAN, yakni Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. "Ada juga dari luar ASEAN, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Panama," tuturnya. bari/munib