Sabtu, 08 November 2014

Fokus pada Produksi dan Jasa Pelaku Industri Maritim Perlu Diperkuat

JAKARTA, KOMPASPengamat dan pelaku usaha berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla segera membenahi sejumlah persoalan mendasar di sektor kelautan guna mempercepat kebijakan maritim. Pemerintah perlu fokus pada produksi dan jasa dengan penguatan pelaku industri nasional.
Pakar kelautan dari Universitas Pattimura, Ambon, Alex Retraubun, mengatakan, persoalan mendasar sektor kelautan adalah kemandirian. Hal itu harus menjadi prioritas penyelesaian pemerintah. Kemandirian harus menjadi urat nadi pengelolaan kelautan dengan memberdayakan sumber daya kelautan dan perikanan serta mengurangi ketergantungan impor.
Persoalan lainnya adalah kemampuan pengawasan. Industri kelautan dan perikanan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga akibat lemahnya teknologi, sarana pengawasan, dan ketahanan nelayan.
Indonesia perlu mencontoh Tiongkok yang lama dikenal sebagai negara maritim. Hal itu ditandai industri perkapalan tumbuh pesat, teknologi kapal maju, dan pengamanan laut yang mumpuni.
Pengelolaan laut perlu difokuskan pada dua fungsi. Pertama, fungsi produksi yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati laut. Pengelolaannya perlu difokuskan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kedua, laut sebagai penawar jasa yang meliputi pelabuhan, perkapalan, galangan, dan pengawasan laut. Hal ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga yang terkait.
Saat ini ada 14 kementerian/lembaga terkait kelautan. Sinergi antar-kementerian dan lembaga yang masih lemah perlu dibenahi guna mempercepat realisasi kebijakan hulu-hilir terkait kelautan.
Secara terpisah, Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association Carmelita Hartoto yang juga Ketua Umum Kadin Bidang Logistik berharap, pemerintahan JKW-JK membuat kebijakan ekonomi yang pro industri maritim guna memperkuat program pemberdayaan industri pelayaran nasional.
Carmelita menilai, agenda prioritas yang perlu dijalankan adalah insentif fiskal dan moneter kepada pelayaran yang setara negara lain. Di antaranya, mengubah aturan perdagangan (term of trade) ekspor dari harga yang diterima di atas kapal (free on board/FOB) menjadi nilai dari barang yang akan dikirim ditambah ongkos dan nilai asuransi barang (cost insurance and freight/CIF) dan impor dari CIF menjadi FOB.
Pemerintah juga harus menyelesaikan peraturan pemerintah terkait laut dan keamanan laut guna mengakhiri tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut dan reposisi peran BUMN kepelabuhanan menjadi katalisator pertumbuhan.
Relokasi industri
Pakar transportasi Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, M Yamin Jinca, mengatakan, tingginya biaya logistik pengapalan menjadi salah satu hal yang harus dipecahkan dalam pembangunan kemaritiman. ”Hal itu karena masih timpangnya jumlah industri di wilayah barat dan timur,” ujarnya.
Untuk menekan biaya logistik yang tinggi, pemerintahan JKW-JK, antara lain, harus merelokasi sebagian industri dari Pulau Jawa ke kawasan timur Indonesia. ”Jika tidak dilakukan, biaya logistik akan tetap tinggi,” ujarnya.
Untuk menekan biaya logistik, Yamin menambahkan, setiap provinsi harus bisa mengekspor langsung komoditasnya. Selama ini aktivitas ekspor harus melalui Surabaya ataupun Jakarta.
Tingginya biaya logistik juga dikeluhkan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis. Menurut Safari, selama ini pengapalan rumput laut dari Sulawesi Selatan atau kawasan timur Indonesia lainnya ke luar negeri harus melalui Surabaya ataupun Jakarta.(CHE/FRN/ENG/lkt)
Sumber: Kompas

JAKARTA, KOMPASPengamat dan pelaku usaha berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla segera membenahi sejumlah persoalan mendasar di sektor kelautan guna mempercepat kebijakan maritim. Pemerintah perlu fokus pada produksi dan jasa dengan penguatan pelaku industri nasional.
Pakar kelautan dari Universitas Pattimura, Ambon, Alex Retraubun, mengatakan, persoalan mendasar sektor kelautan adalah kemandirian. Hal itu harus menjadi prioritas penyelesaian pemerintah. Kemandirian harus menjadi urat nadi pengelolaan kelautan dengan memberdayakan sumber daya kelautan dan perikanan serta mengurangi ketergantungan impor.
Persoalan lainnya adalah kemampuan pengawasan. Industri kelautan dan perikanan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga akibat lemahnya teknologi, sarana pengawasan, dan ketahanan nelayan.
Indonesia perlu mencontoh Tiongkok yang lama dikenal sebagai negara maritim. Hal itu ditandai industri perkapalan tumbuh pesat, teknologi kapal maju, dan pengamanan laut yang mumpuni.
Pengelolaan laut perlu difokuskan pada dua fungsi. Pertama, fungsi produksi yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati laut. Pengelolaannya perlu difokuskan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kedua, laut sebagai penawar jasa yang meliputi pelabuhan, perkapalan, galangan, dan pengawasan laut. Hal ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian dan lembaga yang terkait.
Saat ini ada 14 kementerian/lembaga terkait kelautan. Sinergi antar-kementerian dan lembaga yang masih lemah perlu dibenahi guna mempercepat realisasi kebijakan hulu-hilir terkait kelautan.
Secara terpisah, Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association Carmelita Hartoto yang juga Ketua Umum Kadin Bidang Logistik berharap, pemerintahan JKW-JK membuat kebijakan ekonomi yang pro industri maritim guna memperkuat program pemberdayaan industri pelayaran nasional.
Carmelita menilai, agenda prioritas yang perlu dijalankan adalah insentif fiskal dan moneter kepada pelayaran yang setara negara lain. Di antaranya, mengubah aturan perdagangan (term of trade) ekspor dari harga yang diterima di atas kapal (free on board/FOB) menjadi nilai dari barang yang akan dikirim ditambah ongkos dan nilai asuransi barang (cost insurance and freight/CIF) dan impor dari CIF menjadi FOB.
Pemerintah juga harus menyelesaikan peraturan pemerintah terkait laut dan keamanan laut guna mengakhiri tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut dan reposisi peran BUMN kepelabuhanan menjadi katalisator pertumbuhan.
Relokasi industri
Pakar transportasi Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, M Yamin Jinca, mengatakan, tingginya biaya logistik pengapalan menjadi salah satu hal yang harus dipecahkan dalam pembangunan kemaritiman. ”Hal itu karena masih timpangnya jumlah industri di wilayah barat dan timur,” ujarnya.
Untuk menekan biaya logistik yang tinggi, pemerintahan JKW-JK, antara lain, harus merelokasi sebagian industri dari Pulau Jawa ke kawasan timur Indonesia. ”Jika tidak dilakukan, biaya logistik akan tetap tinggi,” ujarnya.
Untuk menekan biaya logistik, Yamin menambahkan, setiap provinsi harus bisa mengekspor langsung komoditasnya. Selama ini aktivitas ekspor harus melalui Surabaya ataupun Jakarta.
Tingginya biaya logistik juga dikeluhkan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis. Menurut Safari, selama ini pengapalan rumput laut dari Sulawesi Selatan atau kawasan timur Indonesia lainnya ke luar negeri harus melalui Surabaya ataupun Jakarta.(CHE/FRN/ENG/lkt)
Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar