Rabu, 22 Oktober 2014
JAKARTA, KOMPAS—Pengamat
dan pelaku usaha berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla segera
membenahi sejumlah persoalan mendasar di sektor kelautan guna
mempercepat kebijakan maritim. Pemerintah perlu fokus pada produksi dan jasa dengan penguatan pelaku industri nasional.
Persoalan
lainnya adalah kemampuan pengawasan. Industri kelautan dan perikanan
Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga akibat lemahnya
teknologi, sarana pengawasan, dan ketahanan nelayan.
Indonesia
perlu mencontoh Tiongkok yang lama dikenal sebagai negara maritim. Hal
itu ditandai industri perkapalan tumbuh pesat, teknologi kapal maju, dan
pengamanan laut yang mumpuni.
Pengelolaan
laut perlu difokuskan pada dua fungsi. Pertama, fungsi produksi yang
meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati laut.
Pengelolaannya perlu difokuskan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kedua,
laut sebagai penawar jasa yang meliputi pelabuhan, perkapalan,
galangan, dan pengawasan laut. Hal ini membutuhkan koordinasi lintas
kementerian dan lembaga yang terkait.
Saat
ini ada 14 kementerian/lembaga terkait kelautan. Sinergi
antar-kementerian dan lembaga yang masih lemah perlu dibenahi guna
mempercepat realisasi kebijakan hulu-hilir terkait kelautan.
Secara
terpisah, Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association
Carmelita Hartoto yang juga Ketua Umum Kadin Bidang Logistik berharap,
pemerintahan JKW-JK membuat kebijakan ekonomi yang pro industri maritim
guna memperkuat program pemberdayaan industri pelayaran nasional.
Carmelita
menilai, agenda prioritas yang perlu dijalankan adalah insentif fiskal
dan moneter kepada pelayaran yang setara negara lain. Di antaranya,
mengubah aturan perdagangan (term of trade) ekspor dari harga yang
diterima di atas kapal (free on board/FOB) menjadi nilai dari barang
yang akan dikirim ditambah ongkos dan nilai asuransi barang (cost
insurance and freight/CIF) dan impor dari CIF menjadi FOB.
Pemerintah
juga harus menyelesaikan peraturan pemerintah terkait laut dan keamanan
laut guna mengakhiri tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut
dan reposisi peran BUMN kepelabuhanan menjadi katalisator pertumbuhan.
Relokasi industri
Pakar
transportasi Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, M
Yamin Jinca, mengatakan, tingginya biaya logistik pengapalan menjadi
salah satu hal yang harus dipecahkan dalam pembangunan kemaritiman. ”Hal
itu karena masih timpangnya jumlah industri di wilayah barat dan
timur,” ujarnya.
Untuk
menekan biaya logistik yang tinggi, pemerintahan JKW-JK, antara lain,
harus merelokasi sebagian industri dari Pulau Jawa ke kawasan timur
Indonesia. ”Jika tidak dilakukan, biaya logistik akan tetap tinggi,”
ujarnya.
Untuk
menekan biaya logistik, Yamin menambahkan, setiap provinsi harus bisa
mengekspor langsung komoditasnya. Selama ini aktivitas ekspor harus
melalui Surabaya ataupun Jakarta.
Tingginya
biaya logistik juga dikeluhkan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut
Indonesia Safari Azis. Menurut Safari, selama ini pengapalan rumput laut
dari Sulawesi Selatan atau kawasan timur Indonesia lainnya ke luar
negeri harus melalui Surabaya ataupun Jakarta.(CHE/FRN/ENG/lkt)
Sumber: Kompas
Rabu, 22 Oktober 2014
JAKARTA, KOMPAS—Pengamat
dan pelaku usaha berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla segera
membenahi sejumlah persoalan mendasar di sektor kelautan guna
mempercepat kebijakan maritim. Pemerintah perlu fokus pada produksi dan jasa dengan penguatan pelaku industri nasional.
Persoalan
lainnya adalah kemampuan pengawasan. Industri kelautan dan perikanan
Indonesia masih jauh tertinggal dari negara tetangga akibat lemahnya
teknologi, sarana pengawasan, dan ketahanan nelayan.
Indonesia
perlu mencontoh Tiongkok yang lama dikenal sebagai negara maritim. Hal
itu ditandai industri perkapalan tumbuh pesat, teknologi kapal maju, dan
pengamanan laut yang mumpuni.
Pengelolaan
laut perlu difokuskan pada dua fungsi. Pertama, fungsi produksi yang
meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati laut.
Pengelolaannya perlu difokuskan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kedua,
laut sebagai penawar jasa yang meliputi pelabuhan, perkapalan,
galangan, dan pengawasan laut. Hal ini membutuhkan koordinasi lintas
kementerian dan lembaga yang terkait.
Saat
ini ada 14 kementerian/lembaga terkait kelautan. Sinergi
antar-kementerian dan lembaga yang masih lemah perlu dibenahi guna
mempercepat realisasi kebijakan hulu-hilir terkait kelautan.
Secara
terpisah, Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association
Carmelita Hartoto yang juga Ketua Umum Kadin Bidang Logistik berharap,
pemerintahan JKW-JK membuat kebijakan ekonomi yang pro industri maritim
guna memperkuat program pemberdayaan industri pelayaran nasional.
Carmelita
menilai, agenda prioritas yang perlu dijalankan adalah insentif fiskal
dan moneter kepada pelayaran yang setara negara lain. Di antaranya,
mengubah aturan perdagangan (term of trade) ekspor dari harga yang
diterima di atas kapal (free on board/FOB) menjadi nilai dari barang
yang akan dikirim ditambah ongkos dan nilai asuransi barang (cost
insurance and freight/CIF) dan impor dari CIF menjadi FOB.
Pemerintah
juga harus menyelesaikan peraturan pemerintah terkait laut dan keamanan
laut guna mengakhiri tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut
dan reposisi peran BUMN kepelabuhanan menjadi katalisator pertumbuhan.
Relokasi industri
Pakar
transportasi Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, M
Yamin Jinca, mengatakan, tingginya biaya logistik pengapalan menjadi
salah satu hal yang harus dipecahkan dalam pembangunan kemaritiman. ”Hal
itu karena masih timpangnya jumlah industri di wilayah barat dan
timur,” ujarnya.
Untuk
menekan biaya logistik yang tinggi, pemerintahan JKW-JK, antara lain,
harus merelokasi sebagian industri dari Pulau Jawa ke kawasan timur
Indonesia. ”Jika tidak dilakukan, biaya logistik akan tetap tinggi,”
ujarnya.
Untuk
menekan biaya logistik, Yamin menambahkan, setiap provinsi harus bisa
mengekspor langsung komoditasnya. Selama ini aktivitas ekspor harus
melalui Surabaya ataupun Jakarta.
Tingginya
biaya logistik juga dikeluhkan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut
Indonesia Safari Azis. Menurut Safari, selama ini pengapalan rumput laut
dari Sulawesi Selatan atau kawasan timur Indonesia lainnya ke luar
negeri harus melalui Surabaya ataupun Jakarta.(CHE/FRN/ENG/lkt)
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar