Setelah lama dipunggungi, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla berniat menjadikan sektor kelautan menjadi halaman depan Indonesia
yang digembar-gemborkan sebagai poros maritim dunia. Wujud perhatian
terhadap laut sebagai arus utama pembangunan ekonomi sejatinya meliputi
dua fungsi. Pertama, fungsi produksi yang meliputi pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Kedua, laut sebagai penawar jasa
yang meliputi pelabuhan, perkapalan, galangan, dan pengawasan laut.
Fungsi kedua sudah banyak didiskusikan para pakar kemaritiman di
berbagai media massa. Hanya saja, fungsi laut sebagai unit produksi ini
sedikit luput dari perhatian. Padahal fungsi produksi ini dinilai sangat
penting karena berkaitan erat dengan persoalan bagaimana kita dapat
mencukupi kebutuhan pangan masyarakat baik secara nasional maupun
internasional.
Tak dapat dipungkiri, sumberdaya ikan sebagai komoditas ekonomi di
Indonesia sebagian besar tergolong kedalam komoditas ekspor, sehingga
hasil-hasil produksi yang didapat dari sumberdaya ikan dengan grade A
seperti tuna, udang, sidat, layur dan sebagainya cenderung di ekspor ke
negara-negara maju ketimbang untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Tingginya Permintaan
Thomas Malthus (1798) dalam esainya tentang Prinsip Kependudukan
menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk, bila tidak dikendalikan, akan
naik menurut deret ukur (1,2,4,8 dan seterusnya), padahal produksi
pangan meningkat hanya menurut deret hitung (1,2,3,4 dan seterusnya)[1].
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan
pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari
tahun ke tahun. Food Agricultural Organization (FAO), merilis
jumlah permintaan ikan dunia pada tahun 2006 mencapai 114,3 juta ton,
tahun 2008 sebesar 119,7 juta ton dan tahun 2011 mencapai 130,8 juta
ton. Artinya antara tahun 2006 sampai dengan tahun 2011, permintaan
dunia terhadap ikan meningkat hingga 16,5 juta ton. Permintaan terhadap
protein ikani ini diprediksi Bloomberg Philanthropies akan terus tumbuh hingga pada tahun 2030 mencapai 154 juta ton.
Permintaan ikan yang meningkat tentunya memiliki makna positif bagi
pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia
yang memilki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk
pengembangan perikanan baik penangkapan maupun akuakultur.
Namun demikian, tuntutan pemenuhan kebutuhan sumberdaya tersebut akan
diikuti oleh tekanan eksploitasi sumberdaya ikan yang semakin intensif.
Jika tidak dikelola secara bijaksana, sangat dikhawatirkan pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara intensif akan mendorong usaha perikanan ke
jurang kehancuran dan terjadinya berbagai konflik sumberdaya ikan.
Berbagai hasil kajian yang berkembang belakangan ini, terutama di
berbagai lokasi perikanan utama dunia, menunjukkan bahwa upaya
pengelolaan semakin dirasakan meningkat kebutuhannya. Hal ini didorong
oleh kenyataan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus
meningkat (intensif), dengan sedikit upaya pengelolaan, telah
menyebabkan terjadinya kehilangan yang cukup besar keanekaragaman
sumberdaya ikan dan habitatnya (Dulvy dkk. 2003)[2].
Ancaman Krisis dan Pentingnya Pengelolaan
Ditengah permintaan ikan dunia yang terus meningkat seperti pada
uraian diatas, produksi perikanan dunia justru mengalami kemunduran.
Data FAO tahun 2006-2011 menunjukkan bahwa jumlah produksi ikan dunia
turun sebanyak 1,3 juta ton, dari 80,2 juta ton pada tahun 2006 menjadi
78,9 juta ton pada tahun 2011. Keadaan seperti ini tidak hanya
meninggalkan berbagai permasalahan akut akan kelangkaan sumberdaya,
tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial perikanan terutama di
wilayah-wilayah utama perikanan di daerah pantai[3].
Di sisi lain, manusia yang secara langsung menggantungkan sumber mata
pencahariannya pada sumberdaya ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Di Indonesia, berdasarkan statistik perikanan tangkap tahun 2013
diketahui bahwa rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada perikanan
laut berjumlah 627.900 dengan jumlah nelayan 2,4 juta orang.
Kini, ditengah cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia, ciri
dasar dari sumberdaya perikanan dunia menunjukkan gejala yang terus
menerus ke arah penipisan berbagai stok ikan yang disertai dengan
tingginya tingkat modal dan tenaga kerja yang ditanamkan untuk kegiatan
penangkapan. Kondisi ini juga diikuti oleh hasil tangkapan yang rendah
serta sedikitnya pendapatan yang diterima oleh nelayan.
Meski disinyalir masih sangat potensial, diperlukan perencanaan yang
matang dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia
terlebih di wilayah perairan yang sudah dalam kondisi lebih tangkap (over fishing).
Prinsip kelestarian sumberdaya wajib diperhatikan dalam pengelolaan
perikanan sehingga baik pelaku usaha maupun negara dapat memperoleh
keuntungan dan devisa yang besar dan berkelanjutan. Sebagai sumberdaya
yang kepemilikannya dikenal sebagai sumberdaya milik bersama (common properties) dan bersifat terbuka (open acces),
kekurang hati-hatian dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya
perikanan akan mendorong perikanan Indonesia pada apa yang dikhawatirkan
oleh Hardin (1968) sebagai “the tragedy of the commons“.
Andhika Rakhmanda: Pegiat Forum Kajian Perikanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
[1] Lihat Malhtus, T. 1798. An Essay on the Principle of Population. Printed for J. Jhonson, in St. Paul’s Church-Yard. London.
[2] Dulvy, N.K., Y. Sadovi, and J.D. Reynolds. 2003. Extinction Vulnerability in Marine Population. Fihs and Fisheries (4): 25-64.
[3] Lihat
Pitcher, A. 1996. Reinventing Fihseries Management. NAGA The ICLARM
Quartely (7): 15-17 dan Cochrane, K.L. 2000. Reconciling
Sustainability, Economic Efficiency and Equity in Fisheries: The One
that Got Away?. Fihs and Fisheries (1): 3-21.
Sumber: http://laut.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar