Potensi Ekonomi Kelautan Mampu Menyejahterakan Rakyat Indonesia
Oleh: Dr. Dedy Heryadi Sutisna, M.S*)
Setelah lebih dari tiga dasawarsa membangun secara terencana, ekonomi di bidang kelautan (ekonomi kelautan) masih diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector)
serta tidak menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan nasional.
Jika melihat kontribusi setiap sektor terhadap PDB nasional yang
pertumbuhannya relatif lambat, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi
ekonomi kelautan masih memperihatinkan.
Ironisnya, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (Archipelagic State in the world),
memiliki potensi dan kekayaan laut meliputi perikanan, pariwisata
bahari, energi terbarukan (antara lain : arus laut, pasang surut,
gelombang laut, Ocean Thermal Energy Convertion), mineral di dasar laut, minyak dan gas bumi, pelayaran, industri maritim, dan jasa kelautan, yang diperkirakan mencapai nilai US$ 171 milyard per tahun, secara detail dapat dikemukakan sebagai berikut: Perikanan:
US$ 32.000.000.000/th (IPB, 1997), Wilayah pesisir: US$
56.000.000.000/th (ADB 1997), Bioteknologi: US$ 40.000.000.000/th
(PKSPL-IPB, 1997), Wisata Bahari: US$ 2.000.000.000/th (DEPBUDPAR,
2000), Minyak bumi: US$ 21.000.000.000/th (ESDM 1999) dan Transportasi
laut: US$ 20.000.000.000/th (DMI, Bappenas, Dephub 2003).
Sangat disayangkan, potensi dan kekayaan yang dimiliki begitu besar, namun bidang kelautan belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan masyarakat, dapat terlihat bidang kelautan belum dijadikan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan Nasional.
Sesungguhnya potensi yang ada di laut dapat diibaratkan sebagai “Sleeping Giant” (raksasa sedang tidur). Untuk itu perlu kita bangunkan bagi peningkatan dan kehidupan penghela ekonomi masyarakat Indonesia.
Berbicara
tentang negara kepulauan, saya sebagai insan kelautan sangat bangga
akan bangsa kita yang dianugrahi Tuhan Yang Maha Kuasa akan kekayaan
alam laut yang maha kaya. Anugerah tersebut dapat dibuktikan dengan diakuinya Indonesia oleh dunia internasional sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi dan kekayaan alam yang berlimpah, memiliki wilayah seluas 7,7 juta km2, dengan luas daratannya hanya 1/3 dari luas lautan, memiliki garis pantai terpanjang ke-4 di dunia yaitu + 95.181 km, serta memiliki + 13.466 pulau (Timnas Pembekuan Rupa Bumi, 2010).
Disamping
itu secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan
Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik yang merupakan kawasan
paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomis dan politis.
Keunikan letak geografis tersebut menempatkan Indonesia memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap sektor kelautan, dan sangat logis
jika ekonomi kelautan dijadikan tumpuan bagi pembangunan ekonomi
nasional.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, industri pelayaran merupakan infrastruktur dan tulang punggung (backbone)
kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, industri pelayaran
nasional saat ini dalam kondisi terpuruk. Kontribusi sektor industri
pelayaran terhadap PDB baru sekitar 1,64 %. Selain itu sebesar 95,21%
muatan angkatan laut asing dan 46,8 % muatan angkutan laut dalam negeri
dikuasai oleh kapal berbendera asing dan mulai meningkat setelah asas cabotage dilaksanakan. Akibatnya setiap tahun Indonesia membayar kapal asing triliunan
rupiah dan menghasilkan defisit pada transaksi berjalan, yaitu membayar
jasa kepada kapal luar negeri lebih besar. Ditinjau dari segi daya
saing, pangsa muatan armada kapal nasional sudah mulai berkembang
sedangkan untuk internasional masih memiliki ketergantungan pada armada
asing.
Meskipun
Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 10 negara penangkap ikan
terbesar di dunia, kontribusi perikanan terhadap ekonomi nasional dan
kesejahteraan rakyat masih sangat kecil. Interaksi
antar pelaku industri belum menguntungkan untuk negara maupun rakyat.
Industri perikanan masih lemah dan fragmental belum terintegrasi secara
horisontal (antar wilayah dan dengan sektor komplementer) dan belum
terintegrasi secara vertikal (hulu-hilir, produksi, pengolahan dan
pemasaran baik domestik maupun mancanegara). Permasalahan lain juga
seperti pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal ikan asing masih
cukup besar, baik di ZEE maupun diperairan kepulauan dan laut teritorial
dan juga praktek perikanan yang merusak.
Rendahnya
tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan oleh nelayan Indonesia di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan daerah terpencil (remote areas) lainnya mengindikasikan kurangnya kesungguhan bangsa Indonesia untuk menjadikan laut sebagai bagian dari hari depan bangsa.
Pengembangan pariwisata bahari diyakini dapat mempunyai efek berganda (multiplier effect)
yang dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat,
mendatangkan devisa bagi negara, dan dapat mendorong konservasi
lingkungan. Selain itu pengembangan pariwisata bahari sebenarnya
mempunyai dampak positif untuk tumbuh-bangkitnya jiwa dan budaya bahari
yang dengan itu dapat memberkan efek berganda dalam mendorong
terwujudnya negara maritim yang tangguh. Namun demikian hingga saat ini
pariwisata bahari nasional belum berkembang yang ditunjukkan oleh
kontribusi terhadap PDB masih sangat kecil, yaitu sebesar 2,1 % (2005).
Rangkaian acara wisata dan kawasan tujuan pariwisata (calendar of events dan tourists destination) kelautan nusantara belum terbangun. Industri hulu-hilir pariwisata kelautan termasuk multimoda transportasi dan jasa hospitality juga belum berkembang.
Saat
ini banyak obyek wisata bahari di Indonesia, baik yang potensial maupun
yang sudah dimanfaatkan, belum dikelola dengan baik. Umumnya
pengelolaannya masih sangat parsial dan tidak inovatif. Bila cara
pengelolaan yang parsial dan tidak inovatif ini tetap dipertahankan,
pengembangan wisata bahari di Indonesia tidak akan mencapai hasil
maksimum, padahal kepariwisataan merupakan salah satu sektor yang
diharapkan dapat menjadi andalan pendapatan negara yang berasal dari
nonmigas.
Laut
memiliki potensi pertambangan dan energi yang cukup besar namun
pengembangannya terkendala oleh investasi dan teknologi. Potensi timah,
nikel, bauksit, mangan, minyak, gas, air laut dalam (deep sea water)
dan energi, dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada saat ini kepentingan Indonesia yang utama sebagai penghasil mineral
masih terpusat kepada usaha-usaha melindungi agar produksi dan harga
mineral Indonesia khususnya timah, tembaga dan nikel, tidak mendapat
saingan yang mematikan dari para pesaing di era globalisasi. Padahal
pengembangan aktivitas pertambangan di pesisir dan laut dapat
menempatkan posisi Indonesia sebagai produsen yang menguasai pasar
dunia, asal dikelola dengan baik.
Selain
itu potensi minyak dan gas bumi masih cukup besar namun cadangan
terbukti semakin menipis karena terbatasnya investasi dalam penemuan
cadangan tersebut serta berbagai aspek lainnya seperti SDM dan teknologi
mengakibatkan sumberdaya minyak dan gas sering menjadi kendala dalam
penyediaan energi nasional maupun industri turunannya.
Industri
kelautan merupakan aktivitas manufakturing untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan bidang kelautan maupun aktivitasnya menggunakan sumberdaya
laut seperti galangan kapal, perawatan kapal, industri mesin kapal dan
pendukungnya sampai ke industri garam. Industri galangan kapal dan mesin
kapal sebenarnya sangat strategis karena mempunyai rantai hulu-hilir
yang panjang. Aktivitas galangan kapal memiliki tradisi yang panjang
sejak dahulu kala, kerajaan-kerajaan di nusantara dari Aceh sampai
Ternate memiliki kemampuan perdagangan melalui laut baik di wilayah
nusantara sampai ke Afrika. Namun karena perhatian terhadap pengembangan
industri kelautan sangat terbatas maka kapasitas yang dimiliki tidak
berkembang sampai garam-pun kita masih impor Pengembangan industri
kelautan yang maju merupakan tantangan yang perlu dijawab agar dapat
menjadi tumpuan masa depan bangsa.
Jasa
kelautan merupakan aktivitas pendidikan dan pelatihan, penelitian,
arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam, perdagangan, pengamanan
laut serta jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati,
penyerapan karbon, pengolahan limbah secara alamiah, keindahan alam, dan
udara bersih dapat membangkitkan aktivitas sosial, ekonomi maupun
budaya. Pengembangan aktivitas tersebut dapat memberikan kontribusi pada produk domestik bruto maupun penyerapan lapangan kerja. Menurut pengamatan saya, perjuangan Indonesia sebagai negara kepulauan tidak dapat dilepaskan dari “Deklarasi Djuanda” 13 Desember 1957
dan Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
serta Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969, yang semuanya
merupakan tindakan sepihak (unilateral) Indonesia (Kusumaatmadja, 2003).
Sayangnya
Deklarasi yang sangat mulia ini tinggal di atas kertas karena
seharusnya pada tahun 1958 sudah ada peringatannya. Namun semenjak
Presiden Gus Dur untuk pertama kalinya diperingatilah Deklarasi Juanda
yang dikenal dengan Hari Nusantara yang diprakarsai oleh Dewan Maritim
Indonesia saat itu yang sekarang berubah menjadi Dewan kelautan
Indonesi.
Potensi
kelautan bukan tong kosong berbunyi nyaring, tapi harus dikelola secara
baik. Kami juga prihatin karena peringatan Hari Nusantara setiap
tahunnya jatuh pada tanggal 13 Desember sepertinya hanya secara
seremonial belaka karena paradigma bangsa ini masih berorientasi ke
darat, dan hal ini merupakan rekayasa atau ciptaan para penjajah yang
diturunkan kepada para raja-raja utamanya ditanah Jawa waktu itu.
Haruslah
diingat perjuangan Indonesia dan negara-negara lain dalam mengusung
konsepsi negara kepulauan membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Dengan demikian, artikulasi negara kepulauan bagi Indonesia menemukan momentum legalnya ketika Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-udang No. 17 Tahun 1985.
Konvensi ini merupakan tonggak pengakuan dunia internasional kepada
Indonesia sebagai negara kepulauan dimana laut dan pulau-pulau yang
menjadi bagian wilayah Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah sesuai
dengan amanat Deklarasi Juanda.
Selain itu menurut saya, jati diri Indonesia sebagai negara kepulauan telah terpatri pada Undang-Undang Dasar 1945. Pada Pasal 25 UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan
dengan undang-undang”. Dalam rangka Pembangunan Jangka Panjang, maka Pemerintah mengeluarkan Undang-undang
No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Visi Pembangunan Nasional Tahun 2005–2025 sebagaimana yang tertuang
dalam UU No. 17 Tahun 2007 adalah “INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL”. Salah satu misi untuk mewujudkan visi tersebut yaitu Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional adalah konsep ide luhur untuk menumbuhkan
wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan
Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk
mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan
secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut
secara berkelanjutan. Haruskah
kita sadari bahwa membangun ekonomi kelautan secara terpadu berarti
kita outomatis mengembangkan industri kelautan secara luas termasuk
perikanan.
Harus diingat menurut Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982),
Indonesia adalah Negara Kepulauan namun pada kenyataannya sampai saat
ini belum menjadi negara maritim sejati, karena gerak pembangunan
Indonesia belum menguasai dan memanfaatkan laut sebagai aktivitas
ekonomi utama.
Selain
itu juga menurut saya, pengelolaan sumber kekayaan kelautan selama ini
dilaksanakan oleh pelbagai otoritas secara sektoral dan tidak ada
sinergi antara satu instansi dengan instansi lain. Hal ini disebabkan
karena landasan kebijakan yang dipergunakan tidak jelas dan cenderung “ego sektor”, bahkan sampai saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Kelautan dan Kebijakan Kelautan “Ocean Policy”. Padahal Undang-Undang
tentang Kelautan nantinya adalah sebagai payung hukum dalam penataan
hukum/peraturan perundang-undangan di bidang kelautan yang sinergis dan
terpadu. Sedangkan Kebijakan Kelautan Indonesia “Indonesian Ocean Policy” tersebut dapat dijadikan “frame work” atau rujukan bagi semua “stake holders” yang sangat peduli terhadap pembangunan kelautan di Indonesia.
Bidang kelautan selama ini belum dijadikan pengarusutamaan (mainstream)
dalam pembangunan nasional sehingga sumber kekayaan kelautan dan
potensi sumberdaya alam belum menjadi pilar utama penyangga ekonomi
negara sebagai wujud pembangunan nasional. Sudah saatnya para pengambil
kebijakan mengubah pola pikir bahwa bidang kelautan dijadikan
pengarusutamaan (mainstream) pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selama ini pelaksanaan pembangunan di
Indonesia cenderung berorientasi ke daratan. Dimana paradigma yang
terus berlangsung sampai saat ini para pengambil kebijakan di pusat dan
daerah lebih berorientasi ke darat daripada ke laut. Sudah saatnya
bangsa kita merubah cara pandang pembangunan dari pembangunan yang
semata berbasis daratan (Land based development) menjadi lebih berorientasi kepada pembangunan berbasis kelautan (Ocean based development) mengingat negara kita adalah negara kepulauan yang sudah diakui dunia dan terakomodasi dalam UUD 1945 pasal 25A.
Kalau mempelajari permasalahan-permasalahan yang terjadi, saya
melihat permasalahannya adalah bahwa terdapat 3 isu utama di bidang
kelautan yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah antara
lain: kebijakan di bidang kelautan yang ada cenderung tumpang tindih serta lemahnya koordinasi perencanaan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan; masih
banyaknya konflik antar sektor dan antar daerah yang mendukung
rendahnya kontribusi wilayah pesisir dan lautan terhadap perekonomian
nasional; bidang kelautan belum menjadi pengarusutamaan (mainstream) pembangunan
nasional, dan paradigma berpikir masih berorientasi kedaratan atau jauh
tertinggal dengan kemajuan zaman dimana sampai saat ini bangsa ini
terjebak pada land based oriented-nya, padahal Alfred Thayer Mahan (1660-1783) mengatakan ”Barang siapa yang menguasai laut akan menguasai dunia.
Menurut
pendapat saya, yang perlu diperhatikan dan diinginkan utamanya bagi
pemutus kebijakan baik yudikatif dan legislatif maupun executif adalah
sebuah perhatian serius dan kesepakatan bersama antar pemangku
kepentingan untuk berjuang bersama-sama dalam mempertahan keutuhan NKRI
dengan cara menjadikan pembangunan kelautan/maritim Indonesia adalah
bagian integral dari tujuan pembangunan nasional dengan lebih
memanfaatkan unsur kelautan/maritim. Selain itu juga pemikiran
pembangunan kelautan/maritim Indonesia harus dilandasi oleh kenyataan
bahwa: lautan merupakan bagian terbesar wilayah NKRI dan merupakan faktor utama yang harus dikelola dengan baik guna mewujudkan cita-cita nasional, dan pengelolaan aktivitas pembangunan laut harus bersifat integral. Dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembangunan kelautan kita menghadapi empat kendala utama seperti:
1. mental attitude dan semangat cinta bahari masih lemah,
2. techno structure dan stuktur ekonomi maritim belum siap,
3. peraturan dan perundangan belum mendukung, dan
4. kelembagaan yang juga belum mendukung.
Saya berpendapat bahwa untuk dapat menjamin efektifitas pembangunan kelautan/maritim dan berbagai masalah tersebut harus dapat di atasi secara tuntas oleh para pemangku kepentingan, paling tidak yang terkait dengan: sinergi antara eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam memberikan guideline dalam pembangunan kelautan menjadi sangat menentukan. Kepastian perundang-undangan di bidang
kelautan perlu disusun dan ditetapkan sebagai jaminan yang akan memberi
kepastian hukum dan akan menjadi rambu-rambu dalam pengelolaan
pembangunan kelautan. Dukungan legislatif terhadap eksekutif dalam
menyusun rencana anggaran pembangunan yang terkait dengan bidang
kelautan sangat penting untuk meningkatkan kapasitas pembangunan
kelautan nasional. Oleh karena itu, sudah saatnya sekarang ini
diperlukan perubahan visi pembangunan nasional dari visi daratan
(kontinental) menjadi visi Indonesia sebagai negara kepulauan. Perubahan
visi ini harus disertai oleh kesiapan SDM kita dalam mengelola pembangunan kelautan tersebut secara berkelanjutan. Selain itu juga agar peran ekonomi kelautan dapat terus dikembangkan untuk meningkatkan kemakmuran bangsa maka diperlukan sebuah pergeseran
paradigma pembangunan yang lebih memahami jatidiri bangsa Indonesia
sebagai bangsa bahari dan negara kepulauan terbesar didunia serta
memadukan kekuatan ekonomi berbasis darat dan laut sebagai sebagai
sinergi kekuatan ekonomi nasional.
Harapan saya, agar tercapai
negara kelautan yang sejati dan masyarakat yang sejahtera, para
pemegang kepentingan di laut harus melepaskan ego sektoral dan mau
bersama-sama untuk bergandengan tangan (terpadu dan terintegarsi) untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. Disamping itu sudah sangat mendesak, menurut hemat kami bahwa RUU Kelautan untuk segera diundangkan sebagai salah satu payung hukum bidang kelautan yang sinergis dan terpadu, dan segera diwujudkan memiliki Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesian Ocean Policy) tersebut yang dapat dijadikan rujukan bagi semua “stake holders” yang sangat peduli terhadap pembangunan kelautan di Indonesia. Disamping itu harus ada kelembagaan yang kuat secara keseluruhan yang bisa merajut antar sector, serta sosialisasi yang terus menerus oleh para anggota Dewan Kelautan Indonesia, bahwa laut dapat mensejahterahkan masyarakat.
Semoga
dengan memiliki Undang-undang Kelautan dan Kebijakan Kelautan
Indonesia, kita dapat melaksanakan amanah dari salah satu misi
pembangunan kelautan yang terdapat pada Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yaitu Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional serta mampu mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia.
*) Sekretaris Dewan Kelautan Indonesia.http://www.dekin.kkp.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar