Nusa Dua, Bali, Pelita
Kepaduan antara aspek teknis, hukum, dan diplomasi dalam penetapan
batas laut satu negara merupakan satu keperluan dan Indonesia
memperjuangkan penetapan batas kontinen lautnya hingga di luar 200 mil
laut.
Hal itu terungkap dalam Seminar Internasional Aspek Teknis Hukum
Laut, di Nusa Dua, Bali, Senin. Hadir dalam seminar itu Kepala Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Lahan, Rudolf Matindas, Direktur Jenderal
Hukum dan Kerja Sama Internasional Departemen Luar Negeri, Arief H
Oegroseno, ahli hukum laut internasional, Prof Dr Hasjim Djalal,
Presiden Dewan Ahli Hukum Laut Internasional, Prof Chris Rizos, dan
sejumlah lain para ahli yang berkompeten di bidangnya.
Indonesia menjadi tuan rumah seminar itu, yang diikuti sejumlah
besar ahli dari manca negara, dari berbagai disiplin ilmu geologi,
hidrografi, geografi, oceanografi, hukum laut, hingga kalangan diplomat.
Menurut Djalal, yang juga menjadi pelopor Konvensi PBB Tentang
Hukum Laut Internasional (UNCLOS), dalam penetapan batas laut satu
negara, terkait erat antara ranah teknis kebumian, ranah hukum
internasional, dan ranah diplomasi antar negara.
Banyak pengertian teknis yang berbeda pemahamannya antara negara
satu dengan negara yang lain. Implementasi penerjemahan aspek teknis itu
menjadi satu hal penting yang harus dikuasai oleh para peletak
kebijakan dan pengambil keputusan.
Menurut rezim konvensi hukum laut yang telah kita ratifikasi pada
1985, kita sangat dimungkinkan untuk menetapkan batas kontinen laut
menjadi di luar dari batas zone ekonomi eksklusif yaitu di luar 200 mil
laut. Untuk bisa membuktikan klaim ini, disiplin ilmu lain sangat
berperan, di antaranya ilmu geologi dan oceanografi. Inilah kepentingan
pertemuan kali ini, katanya.
Dia menyatakan, saat ini Indonesia sedang memperjuangkan hal itu di
kancah internasional melalui Komisi Landas Kontinen Internasional di
New York. Hal itu telah dirintis sejak beberapa tahun lalu dengan
dukungan data geospacial dan oseanografi hasil survei lapangan dan
pencitraan satelit.
Hal itu dikuatkan oleh Oegroseno, yang menyatakan Indonesia telah
mempresentasi konsep batas kontinen lautnya di depan komisi itu di New
York, pada 4 Maret lalu. Pada 19 Maret lalu telah diterima dan Indonesia
harus melakukan beberapa tahap presentasi lagi. Kita masih harus
membuktikan secara lebih meyakinkan tentang sambungan landas kontinen
itu secara geologis dan dari sudut pandang ilmu kebumian lain. Aspek
teknis ini sangat penting, katanya.
Ayat 4 pasal 76 UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi 150 negara di
dunia menyebutkan secara jelas tentang batas landas kontinen laut dan
persyaratan agar satu negara boleh mengklaim kepanjangan batas itu
hingga di luar 200 mil laut pantai terluar di pulau terluarnya.
Kalau ini bisa diwujudkan, maka pertambahan wilayah laut kita
sangat besar. Kita perjuangkan itu di perairan barat Sumatra, di
perairan selatan Sumba, dan perairan utara Papua, katanya. Indonesia
juga telah memiliki satu tim multidisiplin yang diberi mandat
memperjuangkan hal itu oleh negara.
Berdasarkan Konvensi Djuanda yang diterima internasional sejak
1958, Indonesia merupakan satu negara kepulauan yang tidak lagi memiliki
kantung-kantung wilayah laut. Sesuai dengan konsep Wawasa Nusantara
itu, seluruh pulau wilayah sah Indonesia menjadi satu kesatuan yang
dihubungkan oleh perairan laut dan selat.
Adapun batas laut teritorial Indonesia diatur oleh hukum laut
internasional hingga sejauh 12 mil laut diukur dari titik laut paling
surut dan ditentukan di titik-titik pangkal terluar di pulau terluarnya.
Hal itu juga dikombinasikan dengan batas kontinen laut sebagaimana
diatur oleh rezim perundangan UNCLOS 1982. (ant/jon)
http://www.pelita.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar