Kompas – Sabtu, 11 Juni 2005
LAUT. Tiga perempat wilayah negeri ini, atau sekitar 5,8 juta
kilometer persegi, adalah laut. Tidak berlebihan bila menjadikan sektor
kelautan dan perikanan sebagai salah satu andalan penggerak
perekonomiannya. Meski terlambat, telah ada kesadaran bahwa
menyia-nyiakan potensi kelautan dan perikanan adalah sebuah kebodohan
dan kerugian besar.
KEMBALINYA kesadaran bahwa negeri ini negeri bahari mulai muncul saat
kepemimpinan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dimulai dengan
membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Terbukti, bila sektor
ini diberi perhatian selayaknya, dirancang dengan baik, dikelola
sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab, akan memberi manfaat dan dapat
diandalkan (lihat tabel).
Perkembangan dalam empat tahun terakhir tersebut belum kondisi
optimal yang bisa dicapai sektor ini. Masih sangat besar potensi dan
sumbangan yang dapat diberikan kelautan dan perikanan. Perikanan tangkap
di laut, misalnya, potensi lestari 6,4 juta ton per tahun, tahun 2003
total tangkapan baru 4,4 juta ton per tahun, berarti masih ada 1,02 juta
ton-2,3 juta ton per tahun yang masih belum dimanfaatkan. Sementara di
air tawar, tingkat pemanfaatannya baru 400.000 ton per tahun (44 persen)
dari potensi produksi lestari 900.000 ton per tahun.
Begitu pula di perikanan budidaya, masih terbuka luas peluang
“menggali” manfaat. Di perairan payau, misalnya, realisasi produksi
hingga tahun 2003 baru 344.759 hektar, sementara luas potensialnya
913.000 hektar, masih ada peluang pengembangan 568.241 hektar.
Guru Besar Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menyatakan, jika
500.000 hektare digarap untuk usaha tambak udang, dengan produktivitas
rata-rata 2 ton/tahun/hektar, produksi nasional akan mencapai 1 juta ton
per tahun. “Kalau nilai ekspor udang delapan dollar AS per kilogram,
per tahun kita bisa mendapat devisa 8 miliar dollar AS dari udang saja,”
tuturnya.
Belum lagi budidaya laut (mariculture). Luas potensial untuk budidaya
24 juta hektar, dengan potensial produksi 46,7 juta ton per tahun,
sementara realisasi produksi baru 0,7 juta ton. Artinya, masih ada
peluang sekitar 46 juta ton yang belum dilirik. Begitu pula untuk
pengembangan komoditas lain. Menurut Rokhmin, ada 10 komoditas unggulan
perikanan yang sangat potensial buat Indonesia, yaitu udang, kerapu,
kakap, kepiting dan rajungan, rumput laut, kerang mutiara, bandeng,
nila, patin, dan jambal daging putih.
Potensi dan peluang masih luas terbentang, namun hanya akan tetap
jadi peluang dan potensi bila tidak ada keinginan kuat, kesungguhan, dan
kerja keras terus-menerus mewujudkannya menjadi kenyataan serta
mengurai satu per satu persoalan yang menghadang.
Keinginan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan
revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan dengan melakukan
pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan (RPPK), hari
ini, Sabtu (11/6), di kompleks Waduk Djuanda di Purwakarta, Jawa Barat,
harus dimulai dengan kesungguhan menyelesaikan persoalan yang membelit
pengembangan sektor ini.
“Harus ada tujuan jelas dari revitalisasi. Pertama, selesaikan
permasalahan yang merupakan carry over dari masa lalu. Dan, kedua,
gunakan potensi yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku
perikanan agar bisa menyumbang perbaikan kondisi negeri ini,” tutur
Rokhmin yang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Permasalahan di sektor kelautan dan perikanan adalah kemiskinan
nelayan sebagai pelaku utamanya-65 persen nelayan hidup miskin-begitu
pula pembudidaya perikanan tradisional. Terjadi overfishing (tangkap
lebih) di beberapa wilayah, kerusakan lingkungan, illegal fishing
(penangkapan ikan secara ilegal) terutama oleh kapal asing yang
menyebabkan kerugian negara 4 miliar dollar AS per tahun serta kurangnya
penanganan dan pengolahan hasil perikanan.
Optimalisasi
Di bidang perikanan tangkap yang diperlukan adalah optimalisasi
dengan menata intensitas penangkapan serta menetapkan secara tepat
jumlah kapal yang beroperasi agar terjadi keseimbangan sesuai potensi
yang ada.
Di sebagian Selat Malaka, pantai utara Jawa, Selat Bali, dan pantai
selatan Sulawesi Selatan terjadi overfishing. Untuk itu, harus dilakukan
modernisasi armada nelayan tradisional di daerah yang overfishing,
dengan memberi pinjaman modal untuk penyediaan kapal ikan bertonase 30
GT berikut alat tangkap yang tepat guna, pelatihan teknis, dan
pendampingan manajemen agar nelayan dapat menangkap ikan di perairan
yang potensinya masih besar, seperti di kawasan timur Indonesia, Laut
Cina Selatan, Zona Ekonomi Eksklusif Internasional (ZEEI) Samudra
Pasifik, dan ZEEI Samudra Hindia.
Memberi kesempatan pulihnya stok ikan di daerah overfishing,
sekaligus memanfaatkan sumber daya ikan di daerah underfishing yang
selama ini dimanfaatkan nelayan asing.
Seiring dengan itu, dilakukan relokasi nelayan dari daerah
overfishing ke wilayah underfishing. Peran pemerintah memfasilitasi agar
proses ini berjalan partisipatif, nelayan yang pindah dengan masyarakat
yang akan menerimanya dapat saling menyayangi dan bukan karena paksaan.
Selain itu, pembangunan permukimannya harus dilengkapi pelabuhan
perikanan, sekaligus jadi kawasan terpadu untuk kegiatan ekonomi. Ada
prasarana jalan, air bersih, listrik, jaringan telekomunikasi, fasilitas
sosial dan umum. Dengan demikian, pemindahan bukan memindahkan
kemiskinan, tetapi menciptakan kemakmuran.
“Dan, nelayan yang hijrah harus memiliki keterampilan memadai,
produktif, beretos kerja tinggi,” ujar Rokhmin yang saat menjadi menteri
telah memindahkan 500 kepala keluarga nelayan dari pantura ke Majene
dan Takalar. Idealnya, pantura hanya menanggung 2 juta keluarga nelayan,
saat ini ada sekitar 3,9 juta keluarga nelayan yang menggantungkan
nafkahnya di Pantura.
Merevitalisasi kelautan dan perikanan tidak berarti tanpa
revitalisasi pelabuhan perikanan, dan membangun pelabuhan baru, yang
juga menjadi kawasan industri terpadu.
Pelabuhan perikanan itu diperlukan di Bitung untuk peningkatan
produksi tuna dan cakalang, Ambon sebagai sentra shasimi tuna, Muara
Baru di pantura, Meneng di Banyuwangi, Labuan Bajo (NTT), Biak,
Pontianak, Natuna, dan Sabang.
Pentingnya infrastruktur perikanan disadari oleh negara seperti
Jepang, yang dengan garis pantai 34.000 kilometer memiliki 3.000
pelabuhan, atau satu pelabuhan per 11 kilometer panjang pantai. Thailand
dengan garis pantai 2.600 kilometer punya 52 pelabuhan, atau satu
banding 50 kilometer panjang pantai. Indonesia dengan 81.000 kilometer
garis pantai hanya punya 694 buah pelabuhan perikanan, artinya satu
pelabuhan untuk 115 kilometer panjang pantai.
Di sisi lain, ada kendala yang terkait dengan kebijakan moneter,
fiskal, dan investasi yang tidak berpihak pada sektor riil, khususnya
kelautan dan perikanan, serta masalah keamanan. Kebijakan yang tidak
berpihak tersebut antara lain suku bunga untuk pendanaan sektor kelautan
dan perikanan. Di Jepang, untuk pendanaan sektor kelautan dan
perikanan, suku bunga kredit tidak lebih dari tiga persen per tahun,
begitu pula di Australia dan Thailand yang hanya 3-9 persen.
Selama rezim Orde Baru, hanya 0,02 persen kredit perbankan untuk
kredit perikanan. Sementara nilai investasi domestik untuk sektor ini
hanya 1,37 persen dan investasi asing hanya 0,31 persen dalam 32 tahun
(1967-1999).
Belum lagi tantangan global yang kini harus dihadapi seiring
liberalisasi perdagangan dunia, ketatnya persaingan produk perikanan di
masa datang yang menuntut ketersediaan produk secara teratur dan
sinambung, kualitas yang baik dan seragam, serta tersedia secara massal,
dan memenuhi standar kelestarian lingkungan.
Ini sebuah kerja besar. Bukan mustahil untuk diwujudkan, sepanjang
ada kesungguhan dan tidak berhenti hanya pada jargon. (Elly Rosita)
http://rokhmindahuri.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar