Selasa, 21 Oktober 2014
Begitulah penggalan paragraf yang diucapkan Bung Karno, dalam buku Penyambung Lidah Rakyat.
Ada nada bangga dalam untaian kalimat Putra Sang Fajar tersebut dalam
menggambarkan betapa besar negeri pulau-pulau tersambung lautan luas
ini. Hingga kini, bahkan, penggambaran heroik tentang unik dan luasnya
bentang negeri bahari ini seakan tetap melekat di benak nyaris setiap
warga di Nusantara.
Tapi
begitulah. Hingga 69 tahun usia kemerdekaan, hanya kisah-kisah ironi
yang tercipta dari bentang bahari ini. Kesadaran sebagai negeri
kepulauan yang kaya dengan lautan, baru sekadar menyulam jargon
heroisme, bukan jatidiri untuk membangun negeri yang sejahtera, makmur,
dan berdaulat.
Menguasai
2,8 juta kilometer persegi laut yang kaya, tapi kini Indonesia justru
jadi bangsa pengimpor ikan yang rajin, bahkan ikan teri dan asin
sekalipun. Sedihnya, sebagian besar ikan-ikan itu berasal dari laut
Indonesia, yang dicuri kapal-kapal asing.
Negara
bukan tak menyadari akan hal tersebut. Berganti rezim, tema maritim
selalu hadir dalam rencana pembangunan. Namun, alih-alih terbangun
sebuah poros maritim yang kuat, pembangunan kemaritiman kita pun selama
bertahun-tahun seakan senantiasa berakhir sama, sekadar menjadi endapan
wacana. Sektor bahari, yang di dalamnya adalah maritim dan kelautan pun
tak pernah dihadirkan sebagai arus utama pembangunan.
Perwira
naval asal Amerika, Alfred Thayer Mahan (1840-1941), merumuskan betapa
pentingnya penguasaan atas kemaritiman bagi suatu bangsa dengan istilah sea power.
Karya Mahan kemudian menjadi rujukan bagi penguasaan teritorial laut,
yang berbasis pada kekuatan maritim di banyak negara maju. Mahan
menyimpulkan, untuk menguasai dunia, harus menguasai perdagangan dunia,
Perdagangan dunia selalu melalui laut. Singkatnya, siapa yang menguasai
laut, mereka yang akan mengontrol dunia (Mahan, 1879).
Sir
Harold J Mackinder, ahli geopolitik Inggris menyempurnakan pandangan
Mahan tersebut dengan menambahkan variabel penguasaan pivot atau poros
dari ruang kelautan yang dikuasai. Menciptakan poros maritim akan
memungkinkan bagi suatu negara untuk memperluas saling ketergantungan
dalam jejaring perdagangan internasional.
Pandangan
Mahan dan Mackinder juga menegaskan, bahwa kekuasaan maritim akan
terbangun jika ada pemahaman dan penguasaan yang baik atas kekuatan
kelautan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik dan
sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang
terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta
kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu, seperti industri maritim
dan pelabuhan.
Dengan
demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim
sebagai aspek aplikatifnya. Dua hal yang merupakan bagian dari apa yang
kita kenal dengan sebutan bahari.
Bagaimana
dengan Indonesia? Meski menyebut dan memersepsi diri sebagai tanah air,
ironisnya bangsa ini memosisikan diri secara kultural sebagai bangsa
agraris. Swasembada pangan hanya dimaknai sebagai swasembada beras.
Pembangun infrastruktur ekonomi diartikan sebagai pembangunan jalan raya
dan infrastruktur darat lainnya. Kemampuan dan pengalaman melaut kita
hanya berbasis cerita rakyat, romantisme, dan mitologi masa lalu, bukan
dinyatakan lewat catatan keilmuan dan pengembangan teknologi.
Harapan baru
Dalam
pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia, 20 Oktober
2014, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan tentang pembangunan sektor
maritim. Sesuatu yang seolah terlupa karena terlalu lamanya kita
memunggungi lautan. Hal ini tentu menjadi harapan baru bagi cita-cita
menempatkan bahari negeri ini sebagai jatidiri bangsa yang nyata.
Namun
sekali lagi, pembangunan maritim bukan rencana baru. Sejak
berpuluh-puluh tahun lalu hal tersebut selalu menjadi bagian dari
rencana pembangunan pemerintah. Namun, kemajuan sektor ini tetap jauh
dari harapan.
Kenyataannya,
selain tak pernah benar-benar menjadi arus utama, pembangunan sektor
kelautan dan maritim selama ini tak dimulai dari persoalan yang paling
fundamental, yaitu membangun mentalitas dan persepsi yang tepat atas
keruangan dan potensi kelautan kita.
Senior
Advisor Transformasi, Sarwono Kusumaatmadja, mengatakan, ada
ketakrelevanan dalam cara negara ini memersepsi keruangan Indonesia saat
ini. Hal itu tampak pada masih dipakaianya konsep trimatra (darat,
laut, udara), dalam konsep keruangan kita.
Konsep
keruangan yang lebih mengena, kata Sarwono, adalah variabel multimatra,
yang terdiri atas sembilan matra, yaitu darat termasuk pegunungan;
permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di
sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut;
atmosfir; stratosfir, dan angkasa luar
Ini,
menurut Sarwono, ironis. Kala Presiden Soeharto meluncurkan Satelit
Palapa pada dekade 1970-an, sebenarnya kita telah masuk ke era ruang
angkasa, tidak sekadar trimatra. “Hal yang sama saat ini kita mulai
lakukan dengan merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra
dasar laut. Anehnya, tetap saja kita menggunakan trimatra sebagai acuan
keruangan sampai saat ini,” ujar dia.
Konsep
keruangan ini menjadi penting karena menjadi dasar pembuatan desain
kebijakan kelautan dan maritim kita. Pemahaman atas keruangan kekuasaan
laut kita akan memberikan kerangka yang tepat mengenai wilayah apa saja
yang semestinya dapat kita kelola, pelihara, jaga, dan manfaatkan
sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat, serta strategi kebijakan apa
yang paling tepat.
Wilayah
kelautan kita tak lepas dari rezim internasional yang berlaku. Karena
itu, Sarwono menyarankan agar pemerintah menuntaskan seluruh kewajiban
yang tercantum dalam United Nations Convention on the Law of the Sea
atau UNCLOS. Hal ini penting artinya bagi efektivitas kedaulatan kita.
“Kasus Sipadan dan Ligitan, serta Ambalat merupakan peringatan dini
terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari,” kata dia.
Bila
semua hal terkait penataan kembali problem kelautan kita tersebut sudah
jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun. Kekuatan maritim dapat
dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan persepsi
keruangan kita.
Jika
kesesuaian itu telah terjadi, maka kebijakan maritim, yang di antaranya
meliputi penataan kepelabuhanan, wisata bahari, pengamanan laut, niaga,
perkapalan, pemanfaatan dan penjagaan laut, transportasi, dan
pengembangan kekuatan angkatan laut, dapat dilaksanakan dengan lebih
mudah. Bukankah, semestinya visi maritim adalah turunan dari kebijakan
kelautan.
Dalam
kebijakan bahari, kita selama ini kerap rancu antara kelautan dan
maritim. Padahal, secara jelas keduanya berbeda cakupan. Belakangan,
muncul wacana akan hadir kementerian maritim untuk menggantikan
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kerancuan
konsep tersebut terkesan sepele, namun sesungguhnya menjadi krusial,
tatkala menentukan arah, fokus, dan pembagian tugas dan wewenang dari
lembaga yang didirikan untuk mencapai visi kemaritiman. Menjadi penting
pula ketika menentukan keahlian, kompetensi, dan kapasitas orang yang
berhak menduduki lembaga kemaritiman yang didirikan.
Namun
lagi-lagi, kita masih harus menuntaskan jatidiri bangsa sebagai
penghuni negara kepulauan. Kita juga dituntut memiliki visi dan strategi
yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional
ke arah paradigma bahari yang rasional dan berwawasan global. Dunia
pendidikan masih memberi peluang bagi kita untuk membangun mentalitas
bahari itu. Namun, hal terpenting adalah konsistensi pemerintah baru
dalam mengimplementasikan visi bahari itu.
(Mohamad Burhanudin, Communication Specialist of Transformasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar