Selasa, 23 September 2014
Di
tengah menipisnya kebaharian bangsa Indonesia, tulisan Rizal Sukma,
”Gagasan Poros Maritim”, di Kompas (20/8) menarik dibahas lebih lanjut.
Sukma
menyodorkan tiga strategi dasar mendukung gagasan presiden terpilih
Joko Widodo mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Mulai dari
kesiapan sumber daya manusia, penguatan infrastruktur maritim, hingga
membentuk Indonesia Maritime Partnership Initiative bersama Jepang,
Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Singapura guna menyiasati kebutuhan
biaya yang besar, ketersediaan teknologi yang cukup, dan waktu yang
panjang.
Bagi saya, untuk negara kepulauan khas dan sebesar
Indonesia, strategi mewujudkan poros maritim haruslah diawali dengan
perubahan paradigmatik daripada sekadar programatik. Karena itu, penting
memahami modalitas Indonesia.
Indonesia memiliki akar
kemaritiman yang terbilang kuat. Pertama, diplomasi kelautan yang andal.
Pendakuan sepihak Indonesia terhadap kedaulatan perairan di sekeliling
dan di antara pulau-pulau melalui Deklarasi Djuanda 1957, misalnya,
telah menjadi inspirasi sekaligus motivasi pembaruan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982). Dengan begitu, negara-negara di Utara,
meski didukung teknologi dan modal besar, tidak (lagi) bebas memasuki
dan memanfaatkan kekayaan laut di negara lain, termasuk mengambil ikan.
Sebelum 1982, sekitar 75 persen produksi ikan dunia tercatat dari
negara-negara Utara. Bertahap setelah itu, hingga sekarang, mayoritas
produksi bergeser ke Selatan, termasuk Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Belakangan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengizinkan (kembali)
kapal-kapal ikan asing berbobot lebih dari 1.000 GT bebas menangkap ikan
di perairan Indonesia dan membawanya langsung ke luar negeri.
Kedua,
lintasan utama perdagangan dunia. Sebanyak 80 persen perdagangan dunia
diangkut melewati laut: 60 persennya atau sekitar 12.000 kapal setiap
tahun melewati perairan Indonesia. Jalur strategis ini belum digunakan untuk
memperbesar peran Indonesia dalam rantai perdagangan global.
Ketiga,
arus lintas Indonesia, Indonesian through flow. Diperkirakan sedikitnya
16 juta meter kubik air per detik melalui perairan Indonesia. Dengan
volume sebesar itu, laut Indonesia berperan strategis menjaga
keseimbangan iklim dunia dan pengembangan energi terbarukan berbasis
arus maupun pasang-surut. Nyatanya, kampung-kampung yang berhadapan
dengan laut justru ”gelap”, jauh dari akses energi berkelanjutan.
Terakhir,
nilai ekonomi dari 11 subsektor kelautan Indonesia diperkirakan lebih
dari 1,2 triliun dollar AS. Selang 69 tahun merdeka, belum juga
dioptimalkan untuk ”sebesar-besar” kemakmuran rakyat.
Fakta-fakta
itu mengingatkan kita bahwa menjadi poros maritim dunia sejatinya
bukanlah proyek baru Indonesia. Maka, sebelum beranjak ke program
mercusuar kerja sama dengan bangsa-bangsa lain, menggerakkan bangsa
sendiri adalah penting.
Menggerakkan Rakyat
Menggerakkan seluruh komponen
bangsa—desa-kota, timur-barat, pesisir-pegunungan, perempuan-laki-laki,
muda-tua, miskin- kaya—dapat dimulai dengan menghidupkan (kembali)
Gerakan Nasional Makan Ikan.
Mengapa?
Pertama,
perlu realistis melihat kondisi ekonomi yang diwariskan Yudhoyono.
Defisit APBN dan neraca perdagangan menggambarkan terbatasnya pembiayaan
Jokowi ke depan.
Kedua, terlampau banyak inisiatif kerja sama
ekonomi—baik bilateral maupun multilateral—semasa Yudhoyono dan masih
akan menyandera pemerintahan Jokowi. Untuk lima tahun mendatang,
merapikan kerja sama ekonomi jauh lebih mendesak ketimbang membangun
inisiatif baru.
Maka, ketiga, menggerakkan kekuatan kolektif rakyat sangatlah
penting. Jika sungguh-sungguh, Gerakan Nasional Makan Ikan (bukan ikan
impor) akan melahirkan sembilan perubahan paradigmatik. Dimulai dengan
perubahan pola konsumsi untuk menyiapkan generasi sehat dan cerdas,
perilaku tidak mengotori lingkungan laut, mempercepat kesejahteraan
nelayan, membuka 10 juta lapangan pekerjaan baru, dan memperkuat peran
strategis budaya bahari Nusantara.
Lalu, merangsang tumbuh
kembangnya riset dan teknologi kelautan, industri pengolahan ikan dan
bioteknologi, industri perkapalan, pembenahan pelabuhan, termasuk pada
akhirnya memperkukuh kedaulatan dengan mempersempit masuknya kapal-
kapal ikan asing ke laut Indonesia.
Gagasan Jokowi mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim harus menjadi kesadaran revolusioner
yang berakhir pada tindakan cerdas untuk menggerakkan potensi segenap
rakyat dan mengembalikan kedaulatan negara di laut!
M RIZA DAMANIK
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Sumber: Kompas
http://www.transformasi.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar