Sabtu, 13 Desember 2014

Yang terlewatkan: Ketika Jokowi Berguru Ke Xi Jinping - Saya Mau Obrak-Abrik...

Arif Budisusilo Sabtu, 22/11/2014 11:07 WIB

Ada momen yang tidak biasa dalam acara Banker's Dinner, yang digelar Bank Indonesia, Kamis (20/11) malam, beberapa waktu lalu.
Acara Pertemuan Tahunan Perbankan yang lazimnya hanya diisi Pidato Tahunan Gubernur Bank Indonesia itu, kali ini istimewa.
Pertama, agaknya baru kali ini Banker's Dinner diselenggarakan bertempat di luar gedung Bank Indonesia, yakni di Balai Sidang Jakarta. Kedua, ada tamu istimewa, Presiden RI Joko Widodo.
Sebagai inti acara, Gubernur BI Agus Martowardojo, seperti biasa, menyampaikan pokok-pokok kebijakan perbankan, sekaligus proyeksi ekonomi 2015.
Pak Gubernur memaparkan banyak hal, mulai dari ekonomi dunia yang hanya diterbangkan oleh satu mesin --normalisasi ekonomi Amerika-- lalu kebijakan perbankan, hingga kebijakan domestik terkait subsidi BBM.
Tak lupa, Gubernur BI menjelaskan respons kebijakan moneter yang disebutnya pre-emptive policy, dengan menaikkan BI Rate segera sebesar 25 basis poin, pascakenaikan harga bahan bakar minyak. Tujuannya untuk mencegah agar laju inflasi tidak melonjak kebablasan.
Istilah pre-emptive itu mengingatkan saya saat ketegangan di Irak memanas beberapa tahun lalu. Para petinggi sekutu Amerika kerap menggunakan istilah pre-emptive strike, yang kerap dilakukan dengan serangan bombardir udara, untuk menakut-nakuti Irak. 
***
Tapi Pidato Presiden Jokowi--panggilan akrab Joko Widodo-- tak kalah menarik, bahkan menyedot perhatian, meski hanya berlangsung singkat, dan 'maaf': tidak terstruktur.
Presiden Jokowi berbicara sekitar 15 menit tanpa teks, dan ceplas-ceplos, tidak banyak basa-basi. "Pidato Presiden langsung ke pokok persoalan," kata Presiden Direktur Commonwealth Bank Tony Costa.
Apa sih yang disampaikan Presiden Jokowi? Tak terlalu baru sebenarnya. Tetapi Presiden mengemas dengan cara yang agak berbeda. Bacaan saya, ada pesan strategis yang hendak disampaikan, meski implisit, dan halus.
Setelah sedikit menyampaikan greetings kepada tetamu yang hadir --para bankir, pemilik bisnis, petinggi lembaga negara, para menteri, hingga para gubernur kepala daerah -- Pak Jokowi bercerita saat bertemu dengan para pemimpin dunia di Beijing, pekan kedua November lalu.
Jokowi memulai dengan pernyataannya soal keajaiban ekonomi China. "Bertahun-tahun saya tanda tanya dengan meroketnya Tiongkok sebagai raksasa ekonomi dunia. Mengapa begitu, padahal dia komunis, bukan kapitalis," kata Jokowi.
Seperti kita tahu, ekonomi China tumbuh di atas 7% beberapa tahun terakhir, setelah sebelumnya tumbuh di kisaran di atas 10%, bahkan 12% per tahun.
Lantas Presiden bercerita, dalam kesempatan pertemuan APEC di Beijing, ia selalu duduk berdampingan dengan Presiden China Xi Jinping.
Sembari mengangkat tangan dan menunjukkan empat jarinya, Presiden menceritakan posisi duduknya, yang selalu dalam formasi di antara Presiden Xi dan Presiden AS Barack Obama, dan di sisi lainnya Presiden Putin dari Rusia.
"Pas acara makan, saya bertanya; Presiden Xi, saya mau tanya, beri tiga kunci sukses kenapa Tiongkok bisa sukses meloncat. Tiga saja," katanya.
Atas pertanyaan Jokowi itu, Presiden Xi menyampaikan jawaban: pertama adalah partai yang bersatu. "Nah, ini yang sulit," kata Jokowi disambut tawa para undangan Banker's Dinner.
Kalau partai tidak bersatu, dia mengutip Presiden Xi, bagaimana membuat visi yang sama ke depan.
Kedua, gagasan besar. Gagasan, rencana, mimpi. Caranya? Tugas pemimpinlah untuk mengembangkan gagasan besar, dan melaksanakannya.
Misalnya bikin pelabuhan, jangan hanya untuk kegunaan 10 tahun, tetapi 50 tahun dan 100 tahun ke depan. Jangan hanya 10 hektar, tetapi 1500 hektar dan 2000 hektar; agar tidak perlu repot pembebasan lagi saat diperlukan ekspansi di kemudian hari
Dia memberi contoh pembangunan MRT yang saat ini sedang dikerjakan, biayanya mahal sekali karena untuk membebaskan lahan butuh sedikitnya Rp20 juta atau 40 juta per meter persegi. Ada yang Rp60 juta, bahkan.
MRT adalah sistem transportasi massal berbasis kereta yang sekarang sedang dibangun di Jakarta.
Ketiga, segera membangun infrastruktur untuk konektivitas. Infrastruktur konektivitas ini penting, antarkota, antarprovinsi, antarpulau. Membangun jalan jangan yang kecil-kecil, tetapi yang besar-besar. "Coba deh kalau 26 tahun lalu kita sudah membangun MRT dan jalan yang besar, ongkosnya jauh lebih murah."
Dalam kaitan itu pulalah, Presiden menjelaskan, pengalihan subsidi BBM dilakukan, meski berdampak pada kenaikan harga BBM. Pemerintah ingin memiliki kesempatan lebih besar membangun infrastruktur dasar termasuk waduk (bendungan) dan jalan.
"Bayangkan, uang subsidi Rp300 triliun setahun, kalau untuk membangun waduk masing-masing butuh biaya Rp500 miliar, setiap tahun bisa bangun berapa waduk, 1.200 waduk lebih. Dalam lima tahun, negeri ini bisa-bisa dipenuhi waduk," katanya beranalogi, yang disambut gerrrr hadirin.
***
Resep Xi Jinping itu tampaknya hendak dan sudah disadur oleh Jokowi.
Sembari tampak ingin mengingatkan bahwa 'kapitalisme' telah menjadi cara China memajukan negeri komunis itu, Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia juga harus siap membuka investasi dari luar lebih besar lagi. "FDI harus digenjot," katanya.
FDI adalah investasi asing yang langsung dipakai untuk membangun pabrik-pabrik, kebun, atau bangunan fisik lainnya, termasuk infrastruktur.
Investasi inilah yang akan dijadikan andalan untuk menggenjot pembangunan, karena ia akan menciptakan banyak lapangan kerja, yang berarti mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Jokowi menegaskan, nggak perlu khawatir terhadap investasi asing langsung, karena investor asing itu tidak mungkin membawa pulang kembali jembatan, pelabuhan atau jalan yang telah dibangun di Indonesia.
Pada akhirnya, kata Jokowi, aset tersebut adalah milik Indonesia. "Saya tanya kepada wakil ketua PKC, kok nggak khawatir dengan investasi asing?"
Jokowi memperoleh jawaban memuaskan. "Mosok bikin jalan, pelabuhan, dibawa pulang ke negara mereka. Mosok bikin pabrik, pabriknya dibawa pulang?" kata Jokowi menirukan ucapan pejabat PKC itu.
PKC adalah Partai Komunis China, parpol penguasa negeri, yang telah mereformasi China menjalankan sistem ekonomi pasar sosial seperti sekarang ini.
Karena itu, kata Jokowi pula, yang penting saat ini adalah memberikan berbagai kemudahan dalam berbisnis di Indonesia, termasuk perizinan.
"Perizinan di kita lambat. Bukan lambat lagi, tapi sangat lambat," ujarnya.
"Mosok, mau bikin power plant, 6 tahun belum dapat izin?" lanjut Jokowi.
Dia pun bercerita, saat bertemu di sebuah hotel belum lama ini, Jokowi bertanya kepada pengusaha yang ingin membangun pembangkit listrik (power plant). "Saya tanya, berapa bulan dapat izin, dijawab, sudah dua tahun belum dapat izin Pak," kata Jokowi.
Tapi ternyata waktu terus 'bertambah'. Dalam pertemuan di Jakarta dengan anggota Kadin, dia mendapatkan jawaban lain lagi," Sudah 4 tahun belum dapat."
Di Sumatera Selatan, bertambah lagi. "Saya tanya, dijawab 6 tahun belum dapat izin."
"Saya sekarang tak mau tanya lagi... nanti bisa-bisa dijawab 8 tahun," seloroh Pak Jokowi.
Karena itu, proses perizinan menjadi salah satu fokus perhatiannya. "Ini yang saya mau obrak-abrik. Izin itu apa sih? Tulisan di atas kertas. Tinggal di-tik, saya sudah coba, lima menit selesai," katanya.
Ia pun bercerita, izin pembangkit listrik di Palembang sudah diurusnya, dan seminggu selesai. "Mosok Presiden urus izin-izin. Tapi nggak papa, kalau yang susah-susah, tak urus saja," lanjutnya. 
***
Tampaknya, seperti diakui oleh Jokowi, mungkin yang paling sulit dari tiga resep Xi Jinping itu adalah resep nomor satu: partai politik yang bersatu.
Kita tentu sudah tahu, rivalitas dua kubu di parlemen, yakni Koalisi Metrah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat begitu sengit. Koalisi Merah Putih yang bertindak sebagai oposisi saat ini dominan, suara mereka jauh di atas Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Jokowi.
Namun, Presiden optimistis, kondisi politik akan semakin stabil beberapa bulan ke depan.
Saat ini, katanya, dukungan politik di parlemen masih sekitar 38% anggota DPR yang medukung Jokowi. "Tapi dalam 6 bulan, syukur bisa 60%, 70% bahkan 80%," katanya optimistis.
Jokowi pun buru-buru menyambung; tak perlu memperoleh dukungan politik sampai 100%, karena negara tetap harus ada check and ballance.
Nah, bagaimana menurut Anda? (@absusilo)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar