di Negeri Orang Dihargai, di Negara Sendiri Dieksploitasi
Redaksi |
Sabtu, 19 Juli 2014 - 03:41:34 WIB
Oleh: Rev. Yordan EP Sihombing SH.M.Ap, Ketua Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Jatim, Surabaya.
suarahukum.com - International Transportworker
Federation (ITF) yang bermarkas di London menyatakan bahwa profesi
sebagai pelaut adalah suatu profesi yang spesial dan tidak sama dengan
profesi lainnya di bidang transportasi, termasuk civil aviation. Paling
tidak 90% arus barang di dunia menggunakan moda angkutan laut di mana
pelaut berperan besar di dalamnya.
Demikian pula di Indonesia, sekitar 80% arus barang di seluruh nusantara
menggunakan angkutan laut. Tetapi lihat, bagaimana nasib pelaut kita di
dalam negeri sendiri !? Bukan cuma kita yang memiliki pelaut lokal
dalam negeri! Singapore, Malaysia, Brunei, Pilipina dan Thailand pun
memiliki pelaut lokal seperti kita. Namun, cara menghargai pelaut di
sana sangat berbeda dengan di sini, di mana pelaut lokal kita sungguh
tidak dihargai sebagaimana mestinya!.
Berbicara gaji, standar gaji pelaut dengan pangkat terendah menurut
International Labour Organization (ILO) adalah sekitar 900 USD dan
menurut International Transportworker Federation (ITF) adalah 1.200 USD.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dibuatlah standar gaji untuk pelaut di
Asia Tenggara (ITFSEA), sekitar 500 s/d 800 USD untuk pelaut bawahan.
Itulah sebabnya standar gaji di negeri tetangga untuk pelayaran lokalnya
berkisar di antara angka-angka tersebut. Tetapi sekarang bandingkan
dengan pelaut lokal kita, sungguh-sungguh memprihatinkan. Ada yang
bergaji hanya 90 USD (setara dengan 1 juta rupiah), ada yang 150 USD
(setara dengan Rp 1.750.000) dan ada yang 200 USD (setara dengan Rp 2
lebih). Bukankah itu merupakan penghinaan bagi pelaut bangsa sendiri ?!.
Bukankah pekerjaan pelaut dengan pangkat terendah sekalipun tidak sama
dengan supir? Seorang supir atau pegawai pabrik atau pegawai kantor ,
tidak dituntut untuk memiliki sertifikat bertaraf Internasional sesuai
standar International Maritime Organization (IMO).
Setiap pelaut dengan pangkat apapun dituntut untuk memiliki sertifikat
kompetensi sesuai standar IMO. Makin tinggi pangkatnya, makin banyak
persyaratan kompetensinya. Dan itu bukan gratis. Melainkan harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Menghina betul kalau ternyata
pelaut dibayar sekenanya saja, bahkan sering kali lebih rendah dari
buruh pabrik!.
Di satu pihak pemerintah mengharuskan pelaut kita memenuhi standar IMO,
tetapi di pihak lain, pemerintah sama-sekali tidak perduli mengenai gaji
pelaut. Standar gaji menurut ILO atau menurut ITF atau menurut ITFSEA
sama-sekali tidak diberlakukan. Di mana letak strategisnya profesi
pelaut sebagai pemutar roda ekonomi di negeri bahari ini?.
Lalu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap semua itu? Tentu saja
para implementor yang bertugas dalam fungsi pengawasan!. Tanggung jawab
bukan terletak pada pelaut dan bukan juga pada pengusaha. Sebab dalam
teori kebijakan publik, para pengusaha hanya merupakan kelompok-sasaran
(target group) sementara pelaut adalah kelompok penerima manfaat
(beneficiaries).
Kebijakan publik mana yang dimaksud ? Sekalipun kita tidak menggunakan
standar ILO atau ITF atau ITFSEA, kita mempunyai Mapel (Maklumat
Pelayaran) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Laut yang isinya
mengharuskan bahwa untuk pelaut domestik dengan pangkat terendah,
penggajiannya tidak boleh lebih rendah dari UMR atau UMK setempat yang
sedang diberlakukan.
Sebagai contoh, UMR Surabaya 2014, sekarang Rp.2.250.000. Tetapi lihat,
di atas kapal, dengan pekerjaan yang penuh bahaya dan beban moral yang
tinggi, banyak pelaut kita yang gajinya Rp. 700 ribu atau Rp. 900 ribu,
bahkan sampai Rp 1,5 juta. Bukankah itu menyalahi Mapel?. Bukankah jika
pelaut terendah memperoleh minimal Rp.2.250.000/bulan, maka dapat
mengatrol gaji bagi mereka yang diatasnya sesuai pangkat dan
jabatannya?.
Bukti di lapangan memperlihatkan bahwa seringkali gaji seorang Nakhoda
kapal di kapal-kapal lokal Kalimas Surabaya, sama dengan gaji pelaut
bawahan di pelayaran local. Memperihatinkan bukan? Menurut saya, itu
menghina profesi pelaut!.
Lalu apa jalan keluarnya?, sejak Agustus 2013 di seluruh dunia sudah
diberlakukan hasil konvensi MLC 2006 (Maritime Labour Convention 2006)
yang menyangkut kenaikan upah dan kesejahteraan pelaut sedunia. Negara
tetangga seperti Singapura dan Filipina sudah meratifikasi konvensi
tersebut, namun sampai sekarang pemerintah Indonesia belum
meratifikasinya.
Presiden KPI (Kesatuan Pelaut Indonesia) Hanafi Rustandi telah mendesak
agar pemerintah RI segera meratifikasi konvensi tersebut untuk
kepentingan para pelaut Indonesia, baik yang di luar negeri maupun
pelaut domestik. Sekiranya pemerintah meratifikasi dan menjalankan
ketentuan konvensi tersebut, tentulah pelaut Indonesia terangkat, baik
di mata internasional maupun nasional. Paling tidak, sebelum MLC
tersebut diberlakukan di Indonesia, sesusungguhnya ketentuan Mapel
Dirjenperla dapat diberlakukan.
Bagaimana caranya ? Pertama para birokrat harus melakukan fungsi
pengawasan terhadap keharusan pembuatan Perjanjian Kerja Laut (PKL),
bagi setiap orang yang akan menjadi awak kapal, sesuai dengan amanh
undang-undang . Kedua, dalam pembuatan PKL tersebut harus diperhatikan
bahwa upah pelaut dengan pangkat terendah di kapal domestik, tidak boleh
lebih rendah dari UMR atau UMK setempat. Itu tidak termasuk makan dan
tempat tinggal, sebab KUHD dan KUHPerdata mengatur bahwa makanan dan
tempat tinggal pelaut di atas kapal, merupakan kewajiban pengusaha
kapal, di luar pengupahannya.
Jika cara inipun tidak dilaksanakan oleh pihak pelaksana di lapangan,
apakah masih pantas kita mengaku sebagai Negara bahari? Apakah masih
pantas kita menyanyikan lagu “nenek moyangku orang pelaut“?. Sementara
para pelaut Indonesia di negeri orang dihargai, di negeri sendiri tidak
dihargai bahkan terkesan diekploitasi.
Alangkah menyedihkan suatu profesi yang sertifikasinya berstandar
internasional, pengupahannya tidak berstandar internasional, bahkan
lebih rendah dari skala upah nasional. Sudah waktunya pemerintah
memperhatikan hal ini, karena pelaut kita bukan budak. Mereka adalah
pehlawan pemutar roda ekonomi di Negeri kepulauan ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar