Senin, 06 Oktober 2014
AKHIRNYA pada 29 September 2014 Undang-Undang Kelautan disahkan setelah melalui perjalanan panjang lebih dari 10 tahun.
Tentu
ini angin segar bagi pembangunan kelautan ke depan dan sejalan dengan
komitmen presiden terpilih Joko Widodo yang hendak menempatkan kelautan
sebagai garda depan pembangunan. Tantangan apa yang harus dicermati dan
hal-hal apa yang harus dipersiapkan untuk implementasi UU Kelautan ini?
Catatan pokok
Dengan
disahkannya UU ini, semakin ada penegasan bahwa Indonesia negara
kepulauan berciri Nusantara dan maritim. Dengan demikian, upaya
menempatkan kelautan sebagai orientasi baru pembangunan semakin kuat.
Karena itu, laut harus dikelola secara terpadu dan mandat untuk
mendorong peningkatan pemanfaatan potensi laut secara berkelanjutan
semakin jelas.
Melalui
pengesahan UU Kelautan ini, sejumlah kekosongan regulasi di laut kini
mulai diisi. Pertama, tentang penataan ruang laut dalam kerangka
perlindungan dan pemanfaatan potensi sember daya. Saat ini penataan
ruang laut di wilayah kurang dari 12 mil masih diatur oleh Undang-Undang
No 27 Tahun 2007 yang direvisi jadi UU No 1/2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP2K). Sementara itu, selama ini dasar hukum penataan ruang laut di atas 12 mil belum ada.
Dengan
UU Kelautan ini (khususnya Pasal 42), tata ruang laut di atas 12 mil
diatur dan pemerintah memiliki kewajiban menyusun rencana tata ruang
laut nasional dan juga perencanaan zonasi kawasan laut. Ini penting
sekali untuk mengatasi masalah yang selama ini berkembang, seperti
semrawutnya letak pemasangan pipa dan kabel bawah laut serta konflik
pemanfaatan ruang laut antarsektor.
Kedua,
pemerintah harus mengatur sistem logistik ikan sebagaimana Pasal 18,
dan lalu diperkuat dengan Pasal 30 tentang kewajiban pemerintah
mengembangkan dan meningkatkan penggunaan angkutan perairan dalam rangka
konektivitas antarwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
sistem logistik ikan dan konektivitas ini, diharapkan distribusi ikan
kian tertata dan fluktuasi harga di tingkat nelayan serta kelangkaan
bahan baku untuk industri pengolahan bisa teratasi.
Ketiga,
Badan Keamanan Laut (Bakamla) akhirnya didirikan. Ini merupakan
terobosan penting dalam pengamanan dan penegakan hukum di laut mengingat
selama ini masih mengalami kendala tumpang tindih kewenangan. Lembaga
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) juga dianggap kurang kuat
untuk mengoordinasi 12 kementerian serta lembaga dalam pengawasan dan
penegakan hukum di laut tersebut. Bakamla akan langsung di bawah
presiden (Pasal 60) dan bertugas melakukan patroli keamanan serta
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia. Pada Pasal 62 dijelaskan, Bakamla memiliki fungsi
melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan
pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia.
Tantangan dan agenda
Implementasi UU Kelautan bukan tanpa masalah. Ada
sejumlah tantangan yang perlu dicermati. Pertama, integrasi tata ruang
laut nasional harus segera diwujudkan. Masalahnya, tata ruang laut ini
memiliki dasar hukum berbeda: UU Kelautan fokus pada wilayah di atas 12
mil yang merupakan kewenangan pusat dan UU PWP2K untuk wilayah kurang
dari 12 mil yang merupakan kewenangan daerah.
Sejak
UU PWP2K disahkan tahun 2007, jumlah kabupaten yang memiliki rencana
zonasi pesisir masih kurang dari 10 persen meski ini adalah amanat UU.
Untuk itu diperlukan dua instrumen pokok, yaitu instrumen teknis dan
instrumen fiskal. Instrumen teknis mensyaratkan adanya satu peta (one
map) dengan skala lebih detail sebagai bahan penyusunan zonasi, baik
untuk wilayah lebih maupun kurang dari 12 mil. Di sinilah Badan
Informasi Geospasial harus segera mengoordinasi kementerian dan lembaga
terkait guna inventarisasi kebutuhan sektoral. Dengan adanya satu peta,
semakin memudahkan pusat dan daerah menyusun rencana zonasi. Sementara
itu, instrumen fiskal perlu segera dibuat untuk mengendalikan daerah
agar segera memiliki rencana zonasi pesisir sebagai bentuk ketaatan pada
UU. Instrumen fiskal ini merupakan alat untuk memberikan insentif dan
disinsentif daerah.
Kedua,
hal pokok dalam menciptakan konektivitas antarwilayah adalah mengatasi
ketimpangan ekonomi antarwilayah. Arus barang antarwilayah sering kali
tak simetris sehingga membuat transportasi kurang efisien. Hal ini pula
yang saat ini menghambat distribusi ikan dari wilayah timur ke barat.
Karena itu, pada jangka menengah dan panjang, percepatan konektivitas
harus diikuti dengan pemerataan pembangunan ke wilayah timur.
Ketika
infrastruktur membaik dan ekonomi di wilayah timur tumbuh, otomatis
pergerakan barang akan dengan sendirinya terjadi. Namun, pada jangka
pendek, yang diperlukan adalah penguatan investasi pelabuhan serta
subsidi transportasi laut untuk akselerasi konektivitas.
Mendirikan
Bakamla dalam batas waktu enam bulan ini harus diikuti dengan kejelasan
desain otoritasnya sehingga bisa harmonis dengan kementerian dan
lembaga yang ada. Hal ini mengingat tiap-tiap kementerian dan lembaga
memiliki UU sendiri yang masih berlaku meski UU Kelautan telah disahkan.
Pasal 62 Ayat (d) masih menyebutkan Bakamla menjalankan fungsi
menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi
terkait. Artinya, peran instansi terkait masih diakui. Di sinilah
agendanya bagaimana mengintegrasikan kewenangan pengamanan laut tanpa
harus melanggar UU sektoral yang ada. Karena itulah, harus ada semangat yang sama dari instansi terkait untuk menyukseskan proses integrasi ini.
Sekali
lagi, pengesahan UU Kelautan merupakan pintu gerbang kemajuan kelautan
Indonesia. Kerangka implementasi UU ini memerlukan langkah-langkah
teknis ataupun politis yang tepat sehingga misi pertumbuhan,
keberlanjutan, dan keadilan di laut bisa terjaga secara seimbang,
termasuk di dalamnya memberikan perlindungan kepada pelaku terlemah
dalam ekonomi kelautan, yaitu nelayan. Di sinilah kepemimpinan kelautan
(ocean leadership) yang kuat merupakan kuncinya, dan terpilihnya Jokowi
sebagai presiden membuka harapan baru akan terwujudnya bangsa maritim
yang tangguh.
Arif Satria
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar