Senin, 23/06/2014
Kita sekarang tampaknya baru
menyadari ada beberapa persoalan ekonomi dalam negeri yang berasal dari
pengaruh globalisasi. Seperti upaya Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO
di Bali ( 2013) merupakan memuluskan agenda liberalisasi ekonomi
nasional dalam bidang pertanian, perdagangan dan pembangunan. Sementara
fakta neraca perdagangan Indonesia terus mengalami defisit belakangan
ini sehingga menjadi faktor pelemahan pertumbuhan ekonomi nasional.Kita melihat hasil keputusan WTO sesungguhnya ibarat perang akal-akalan negara maju terhadap negara lain untuk mendapatkan keuntungan yang tak terbatas atas kekurangan dan keterbelakangan ekonomi negara berkembang.
WTO ternyata mendesain sistem perdagangan yang tidak adil, negara berkembang ditekan untuk membuka pintu perdagangan seluas-luasnya bagi negara maju dengan menghapuskan seluruh hambatan perdagangan, hambatan impor, baik dalam bentuk tarrif barrier maupun non-tarrif barrier. Sementara negara maju hanya memberikan peluang dan akses yang kecil terhadap produk barang dan jasa dari negara berkembang, bahkan cenderung tertutup dengan regulasi yang sangat ketat dan WTO menutup mata atas ketimpangan tersebut.
Di bagian lain, negara berkembang akan sangat sulit untuk berkompetisi dengan negara maju, karena kalah dari segi sumber daya, manajerial dan teknologi. Dalam konsep yang didesain WTO ala globalisasi ekonomi mensyaratkan akan kebutuhan produk yang memiliki standard produk yang tinggi dengan basis pengembangan berdasarkan riset dan teknologi, dengan manajemen yang modern.
Persyaratan ini masih belum merata dimiliki negara berkembang seperti Indonesia, dan hanya perusahaan multinasional yang mampu bersaing dan mendominasi perdagangan internasional. Jelas, hal ini akan merugikan bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang pada akhirnya sistem ekonomi nasional akan dikuasai oleh asing.
Globalisasi perdagangan merupakan senjata dan batu loncatan bagi korporasi internasional untuk menguasai perdagangan global dan sangat timpang dari cita-cita awal berdirinya WTO yang mendukung kemajuan dan perlindungan bagi kepentingan negara-negara miskin. Akibat laju liberalisasi ekonomi semakin cepat, setengah dari penduduk di dunia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, kondisi negara berkembang selalu dalam kendali negara maju, karena hampir 90 % investasi dikuasai oleh investor kapitalis pemilik perusahaan raksasa Eropa dan Amerika Serikat.
Hal ini terungkap dalam laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Juli 2012, bahwa data dan fakta perputaran liberalisasi perdagangan dan globalisasi tidak hanya menghasilkan ketimpangan dalam distribusi manfaat dan memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang, tapi bahkan juga meningkatkan ketimpangan pendapatan di dalam negeri itu sendiri.
Jadi, mengikuti dan patuh pada keputusan WTO pada akhirnya merugikan dan menghilangkan kedaulatan ekonomi nasional. Pengalaman Indonesia mengikuti anjuran IMF dan WTO dalam upaya menghilangkan subsidi pertanian, ternyata membuat sektor pertanian kita rapuh dan hancur, akibatnya hingga saat ini sektor pangan lokal merugi dan produk pangan impor menguasai sektor pangan nasional yang memiskinkan petani.
Sumber: http://www.neraca.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar