17 03 2009 Krisis ekonomi global yang bermula dari skandal kredit macet sektor properti dan krisis keuangan di AS, sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda pulih. Sebaliknya, hampir semua negara di dunia kini kecipratan getahnya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi, meroketnya angka pengangguran dan kemiskinan. Indonesia sendiri mulai terimbas krisis ekonomi global sejak Oktober 2008, terutama melalui penurunan nilai ekspor, investasi, dan nilai tukar rupiah.
Sayangnya,
terapi yang dilakukan oleh AS dan dunia pada umumnya sejauh ini baru
menyentuh gejala dari krisis ekonomi, belum mengobati penyebab penyakit
yang sebenarnya. Paket terapi itu mencakup bailout
bagi korporasi yang bangkrut, stimulus fiskal dan moneter, regulasi
sektor keuangan yang lebih ketat, dan penguatan pasar domestik. Sejatinya, paket terapi untuk mengobati resesi ekonomi global sekarang serupa dengan apa yang dilakukan dalam mengatasi the Great Depression 1930. Memang intervensi pemerintah model Keynes kala itu berhasil meredam Depresi Besar 1930. Namun,
sejak 1960 masyarakat dunia tak pernah bisa tidur lelap akibat krisis
ekonomi yang terus berulang, seperti yang terjadi pada 1970, 1980, 1990,
1998 – 2001 (Davies and Davies, 2002).
Akar masalah
Dengan demikian, krisis
ekonomi global sejatinya berakar pada cacat bawaan dari sistem ekonomi
kapitalis itu sendiri, bukan karena kesalahan implementasi semata. Dalam dekade terakhir, kesadaran global tentang kelemahan sistem ekonomi konvensional itu sebenarnya mulai tumbuh. Contohnya, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy berpendapat bahwa “capitalism
based on financial speculation as an immoral system that has perverted
the logic of capitalism. He argued that capitalism needs to find new
moral values and to accept a stronger role for governments”.
Sedikitnya ada tiga kelemahan paradigmatik yang membuat ekonomi kapitalis (neoliberal) identik dengan krisis. Pertama adalah
tujuan ekonomi kapitalis yang bukan sekedar memenuhi kebutuhan dasar
manusia, tetapi juga untuk memuaskan keinginan (nafsu) manusia berupa
kebutuhan sekunder. Lain halnya dengan kebutuhan dasar, keinginan
manusia yang tidak dilandasi dengan nilai-nilai spiritual, sifatnya
menjadi tak terbatas. Sementara itu, kapasitas bumi dan teknologi dalam
menyediakan sejumlah alat pemuas kebutuhan dan nafsu manusia berupa SDA
(Sumber Daya Alam) beserta segenap produk turunannya
berbeda di setiap negara dan ada batasnya. Di sinilah ekonomi kapitalis
terkena batu sandungan pertama, karena memandang kelangkaan alat pemuas
kebutuhan dan nafsu manusia sebagai masalah pokok ekonomi. Padahal,
masalah sebenarnya terletak pada distribusi alat pemuas tersebut
diantara umat manusia yang selama ini jauh dari keadilan. Kekayaan juga
dianggapnya sebagai milik mutlak manusia, bukan titipan Allah pencipta
dan pemilik mutlak alam semesta. Sehingga, dalam praktek keseharian,
perilaku ekonomi kapitalis hanya mengejar keuntungan semaksimal mungkin,
tanpa mengindahkan halal atau haram. Para kapitalis hanya mengutamakan
kepentingan diri dan kelompok nya dengan mengalahkan yang lain, survival of the fittest.
Kedua,
kehidupan kapitalisme modern digerakkan secara dominan oleh ekonomi
berbasis sektor keuangan (sektor maya), bukan sektor riil. Keuntungan
ekonomi diperoleh bukan dari aktivitas investasi dan usaha produktif
dengan menghasilkan berbagai barang dan jasa, tetapi melalui investasi
spekulatif di sektor finansial seperti valas, saham, obligasi, dan
produk derivatives. Sejak bergeloranya globalisasi di awal 1990-an, sektor moneter melesat secara fenomenal meninggalkan sektor riil. Pada 2007, transaksi sektor maya mencapai 95% dari total perdagangan dunia. Sedangkan,
transaksi di sektor riil berupa perdagangan barang dan jasa kurang dari
5%. Volume transaksi maya yang terjadi di pasar uang dunia mencapai
US$ 1,5 triliun/hari, sementara perdagangan barang dan komoditas hanya
sebesar US$ 6 triliun/tahun (IMF and World Bank, 2008). Fenomena decoupling
(terputusnya dinamika sektor moneter dari sektor riil) itu dipicu oleh
maraknya bisnis spekulasi di pasar modal, valas, dan produk derivatives, sehingga mengakibatkan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, bagaikan balon, a bubble economy. Suatu ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, tetapi tak diimbangi oleh geliat produktivitas sektor riil. Dengan
kata lain, sistem ekonomi kapitalis itu secara lahiriah tampak besar,
tapi di dalamnya hanya berisi udara. Contohnya menjelang Krisis Moneter
Asia 1998, dana yang beredar di transaksi maya sekitar US$ 700
triliun/tahun, sedangkan arus perdagangan barang dan komoditas dunia
hanya US$ 7 triliun/tahun.
Keterputusan antara
sektor moneter dan sektor riil itulah yang membuat ekonomi dunia selalu
dihantui oleh krisis. Pasalnya, para pelaku ekonomi tidak lagi
menggunakan uang untuk investasi di sektor riil, tetapi untuk
kepentingan spekulasi mata uang dan transaksi maya lainnya guna meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Ulah spekulatif ini setiap
saat dapat mengguncang ekonomi negara, terutama negara yang fundamental
ekonominya lemah atau kondisi politiknya labil. Spekulasi tersebut
menyebabkan jumlah uang yang beredar jauh lebih besar ketimbang jumlah
barang dan jasa yang diproduksi oleh sektor riil suatu negara, sehingga
terjadilah inflasi. Oleh karena itu, globalisasi pasar keuangan hanya
membuat para pemilik modal (pialang keuangan) semakin kaya, tanpa
bekerja (Hahnel. 2000).
Dalam
buaian ekonomi berbasis sektor maya inilah, kapitalisme tak mungkin
lepas dari praktik bunga (riba). Padahal perbedaan tingkat suku bunga
yang besar antar negara itulah yang membuat para pialang keuangan dengan
seenaknya mengeruk keuntungan melalui investasi uang panas. Dan, aliran
uang panas dari satu negara ke negara lain dalam jumlah yang luar biasa
besarnya dan berlangsung sangat cepat, selama ini menjadi biang kerok
terjadinya kepanikan finansial yang acap kali berujung pada krisis
ekonomi. Lebih dari itu, pemberlakuan sistem bunga juga: (1) memaksa
pertumbuhan ekonomi tinggi secara kontinu, kendati kondisi ekonomi riil
telah mencapai titik jenuh; (2) mendorong persaingan antar pelaku
ekonomi secara sengit dan tak sehat; dan (3) membuat kekayaan
terkonsentrasi pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas (Meera, 2004).
Bagi negara berkembang yang fundamental ekonominya belum begitu kuat,
seperti Indonesia, praktik riba ini juga bisa menjerumuskannya ke jurang
keterpurukan dan kemiskinan permanen di bawah hegemoni pihak asing.
Ketiga yang menjadi kerapuhan kapitalisme adalah ekonomi berbasis uang kertas (fiat money)
yang memiliki kelemahan fundamental yakni selalu terkena inflasi
permanen. Karena, nilai uang sekarang lebih rendah dibandingkan dengan
nilainya pada waktu yang akan datang. Artinya, uang kertas mengalami
depresiasi akibat inflasi permanen. Lebih dari itu, uang kertas juga
jauh dari nilai keadilan, lantaran nilai intrinsiknya jauh lebih kecil
ketimbang nilai nominalnya.
Krisis lingkungan
Falsafah
kapitalisme yang menafikan eksistensi Tuhan dan kehidupan akhirat
membuat gaya hidup dan perilaku ekonomi kapitalis sangat konsumtif dan
hedonis. Untuk mendukung pola kehidupan semacam ini diperlukan produksi
pangan, sandang, obat-obatan, bahan tambang, mineral, dan barang serta
jasa lainnya dalam jumlah besar dan terus meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Keseluruhan proses produksi, distribusi,
dan konsumsi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan nafsu manusia
ini baik langsung maupun tidak langsung telah memacu laju pemanfaatan
SDA dan kerusakan lingkungan. Seiiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk dan membaiknya standar kehidupan manusia,
intensitas pengurasan SDA dan kerusakan lingkungan pun semakin
meningkat.
Secara
global, total laju pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan sebenarnya
pertama kali melebihi daya dukung lingkungan bumi terjadi pada tahun
1980. Kemudian, pada tahun 1999 daya dukung bumi tersebut terlampui sebesar 20% (U.S. National Academy of Sciences, 2002). Wajar kalau dari tahun ke tahun kerusakan lingkungan dan SDA seperti penggundulan hutan, overfishing,
krisis energi, krisis pangan, pencemaran, dan lainnya semakin dahsyat.
Sistem atmosfir pun tidak mampu lagi menetralisir gas rumah kaca yang
dihasilkan oleh segenap aktivitas manusia. Akibatnya,
pemanasan global dengan sejumlah dampak negatipnya (anomali iklim,
peningkatan suhu bumi, peningkatan permukaan laut, peledakan wabah
penyakit, dan lainnya) telah mengancam keberlanjutan pembangunan
ekonomi, dan bahkan kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri.
Selanjutnya,
di negara yang daya dukung lingkungannya telah terlampaui, biaya hidup
dan ongkos untuk memproduksi barang dan jasa menjadi lebih mahal.
Pasalnya, untuk memenuhi keperluan tersebut, bahan baku (raw materials)
nya harus diimpor dari negara lain. Di samping itu, limbah sebagai
hasil samping aktivitas pembangunannya tak bisa lagi dibuang di dalam
negeri, sehingga harus diekspor ke negara lain, yang membutuhkan biaya
lumayan besar. Kondisi semacam inilah yang sejak akhir 1980-an tengah
berlangsung di negara-negara industri maju. Contohnya, sejak dekade
terakhir AS, Uni Eropa, dan Jepang harus mengimpor 60% sampai 75% total
kebutuhan bahan baku untuk menggerakkan industri domestiknya. Akibatnya,
guna mempertahankan gaya hidup yang konsumtif, hedonis, dan hegemonik,
masyarakat kapitalis di negara-negara maju lebih mengembangkan sektor
maya yang sarat spekulasi dan penipuan ketimbang sektor riil.
Solusi baru
Oleh
sebab itu, kini saatnya kita mengembangkan sebuah sistem ekonomi baru
berbasis sektor riil yang mampu menyediakan kebutuhan dasar dan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di dunia secara adil, ramah
lingkungan, dan berkelanjutan. Sektor riil yang dimaksud mencakup:(1)
sektor primer (pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan,
pertambangan dan energi, dan pariwisata); (2) sektor sekunder (industri
pengolahan, manufakturing, dan pengemasan); dan (3) sektor tersier (jasa
transportasi, konstruksi, informasi dan komunikasi, pemasaran,
keuangan, jasa boga, restoran, perhotelan, industri kreatif, jasa
konsultan, dan lainnya). Sejak tahap perencanaan, implementasi, sampai
monitoring dan evaluasi; ketiga sektor ekonomi itu mesti menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip-prinsip
tersebut antara lain meliputi: penataan ruang wilayah untuk kawasan
lindung dan pembangunan; proteksi kawasan lindung; konservasi biodiversity;
pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari; penerapan teknologi
produksi, pengolahan, dan manufakturing ramah lingkungan; pengembangan
bioteknologi dan nannotechnology untuk peningkatan produksi
pangan, minuman, farmasi, dan industri lainnya; pengembangan dan
penggunaan energi terbarukan (seperi biofuel, energi surya, angin, panas bumi, energi arus pasang-surut, energi gelombang laut, dan Ocean Thermal Energy Conversion)
untuk secara gradual mengganti energi fosil; pengendalian pencemaran
lahan, perairan, dan udara (termasuk gas-gas rumah kaca penyebab global warming); dan modifikasi bentang alam (landscape) serta konstruksi prasarana dan sarana pembangunan harus sesuai dengan karakteristik dan dinamika alam.
Dengan
kata lain, laju pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan mesti
dirancang agar tidak melebihi daya dukung bumi dan kapasitas teknologi
ramah lingkungan untuk menyediakannya. Untuk dapat memenuhi kaidah
pembangunan berkelanjutan, setiap wilayah (negara) selain harus
mengendalikan jumlah penduduk, juga mesti mengubah gaya hidup (life style) warganya yang selama ini konsumtif, rakus, dan serba materi menjadi lebih hemat SDA, senang berbagi kelebihan kepada sesama (care and share),
dan meraih kebahagian melalui pencapaian materi (dunia) dan spiritual
(akhirat) secara seimbang. Kalau ada negara yang sudah menerapkan kaidah
ini, lalu masih tetap kekurangan SDA, komoditas, barang, dan jasa; maka
disinilah letak peran sentral dari hubungan dan perdagangan antar
negara (globalisasi). Jadi secara ekonomi, globalisasi
mesti dimaknai sebagai upaya kolektif masyarakat dunia dalam
mengembangkan perdagangan SDA, barang, komoditas dan jasa antar bangsa
secara adil dan saling menguntungkan. Bukan transaksi pasar uang dan jenis transaksi maya lainnya, seperti yang terjadi selama ini.
Selanjutnya,
jumlah uang yang dicetak oleh sektor moneter mesti seimbang dengan
jumlah keseluruhan barang dan jasa yang dapat diproduksi oleh sektor
riil suatu negara. Selain itu, sektor keuangan sesuai fungsi utamanya
harus didorong untuk membiayai sektor riil, bukan sektor maya yang sarat
manipulasi dan penipuan. Aset ekonomi produktif (modal, teknologi,
infrastruktur, pasar, dan informasi) harus mudah diakses oleh seluruh
lapisan masyarakat, khususnya rakyat kecil. Andai pun kita masih mentolerir pasar saham, maka perdagangan saham harus berdasarkan pada underlying transaction
(sektor riil) dari perusahaan emiten tersebut. Sistem perbankan
konvensional berbasis bunga seyogyanya secara gradual kita ganti dengan
sistem berbasis cost and profit sharing, berbagi risiko dan
keuntungan secara adil. Akhirnya, uang mestinya hanya boleh digunakan
sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Mari
kita tinggalkan sistem uang kertas, dan kembali ke mata uang emas dan perak, atau setidaknya uang kertas yang ditopang oleh logam mulia, seperti sistem Bretton Woods.rokhmindahuri.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar