Minggu, 30 November 2014 | 07:32 WIB
KOMPAS.com - Diam-diam Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menandatangani Memorandum of Understanding on Establishing the Asian Infrastructure Investment Bank Among Prospective Founding Members, Selasa (25/11), di Jakarta, dan disaksikan Dubes Tiongkok untuk Indonesia Xie Feng.
Tidak ada media massa lokal memberitakan ini, hanya media massa Tiongkok, termasuk Renmin Ribao (harian Rakyat), yang memberitakannya pada Rabu (26/11) dengan judul ”Yinni Qianshu Choujian Ya Touxing Beiwanglu” (Indonesia Menandatangani Nota Kesepahaman Membangun Bank Investasi Asia).
Tidak ada media massa lokal memberitakan ini, hanya media massa Tiongkok, termasuk Renmin Ribao (harian Rakyat), yang memberitakannya pada Rabu (26/11) dengan judul ”Yinni Qianshu Choujian Ya Touxing Beiwanglu” (Indonesia Menandatangani Nota Kesepahaman Membangun Bank Investasi Asia).
Ada yang janggal dalam keputusan pemerintahan Presiden Joko Widodo
menandatangani MOU pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB).
Bahkan, Kementerian Luar Negeri tidak dilibatkan dalam penandatanganan
MOU AIIB ini yang dilanjutkan dengan pertemuan negosiasi pertama AIIB di
Kunming, Provinsi Yunnan, Jumat (28/11).
Pemerintahan Indonesia terkesan menghindari publikasi penandatanganan
MOU AIIB yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pendiri di
antara 22 negara Asia lainnya. Ada dua perspektif muncul dari upaya
diam-diam Pemerintah RI. Pertama, menghindari pertanyaan DPR yang berada
dalam kemelut politik antara partai-partai pro dan antipemerintah.
Kedua, Indonesia seperti tak mau ketinggalan kereta dalam upaya
Tiongkok membangun strategi infrastruktur Asia baru yang disebutnya yi lu yi dai
(satu jalan satu sabuk) yang mengacu pada pembangunan infrastuktur di
jalur yang disebut sebagai Sabuk Ekonomi Jalan Sutra dan Jalan Sutra
Maritim, dan terkesan sangat mengandalkan dana keuangan Tiongkok untuk
membangun visi poros maritim Presiden Jokowi.
Transformasi kawasan
Awalnya, kita melihat upaya Tiongkok membentuk AIIB sebagai bagian
dari strategi jalur sutra daratan dan lautan sebagai kesempatan bagi
Indonesia menghadirkan kebijakan luar negeri Indonesia
mentransformasikan kondisi kondusif bagi pembangunan dan pertumbuhan
kawasan Asia Tenggara.
Itu sebabnya ketika bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di
Beijing, Jokowi mengajukan usul, kalau keterlibatan Indonesia dalam AIIB
dengan kondisi lokasi AIIB berada di Jakarta dan Tiongkok perlu
mempercepat realisasi perundingan tata berperilaku (code of conduct) di
laut Asia Tenggara yang berlangsung terlalu lambat mengelola klaim
tumpang tindih kedaulatan di kawasan laut ini.
Kita memahami itikad Tiongkok dalam strategi jalur sutra daratan dan
lautan melalui pembentukan AIIB dari sisi pengejawantahan lingkup
pengaruh soft power (kekuatan lunak) Tiongkok di kawasan,
tetapi sekaligus juga memberikan indikasi keinginan mentransformasikan
kawasan konflik Laut Asia Tenggara menjadi kawasan damai dan stabil bagi
pembangunan kesejahteraan bersama.
Namun, ketika membaca MOU AIIB secara saksama, pentingnya upaya kerja
sama regional bagi pertumbuhan berkelanjutan, memiliki tujuan yang
lebih banyak menguntungkan RRT seperti menentukan hak suara berdasarkan
saham yang dimiliki. Tiongkok sudah menyatakan, setengah dari dana yang
dibutuhkan AIIB sebesar 100 miliar dollar AS disediakan Tiongkok karena
kapasitas keuangannya yang memang masif.
Dalam MOU ini juga disebutkan, jika Tiongkok akan mengendalikan apa
yang disebut sebagai Sekretariat Interim Multilateral yang akan
menghasilkan rancangan pembentukan Articles of Agreement (AOA)
tentang tata cara bank ini beroperasi. Keseluruhan isi MOU AIIB ini
memang memiliki semangat kebersamaan yang kuat, termasuk penekanan
perlunya ketahanan regional menghadapi krisis keuangan dan gangguan
dalam konteks globalisasi.
Menghadapi strategi baru Tiongkok menjadi negara adidaya setara AS,
ada dua kondisi yang harus dipahami tentang keberhasilan model investasi
infrastruktur yang dijalankan Tiongkok selama ini. Pertama, RRT
memiliki aset sangat besar, khususnya lahan tanah, sehingga investasi
infrastruktur ini menghadirkan sebagian besar pendapatan pemerintah
melalui transformasi sosial. Kedua, Pemerintah RRT memiliki manajemen
yang efektif, walaupun ada kebocoran seperti korupsi, sehingga manfaat
sosial utama bagi pemerintah bisa tercapai.
Keikutsertaan Indonesia dalam AIIB harus menyadari kondisi ini.
Transformasi regional dalam mekanisme kerja sama ini harus dipastikan
jika kemauan politik dalam rangka luas kerja sama investasi keuangan
harus didukung seluruh komponen dalam negeri.
Kita tidak ingin satu dekade ke depan berhadapan di mana strategi
”satu jalan satu sabuk” menjadi platform hegemoni Tiongkok dan investasi
infrastruktur harus tetap kembali ke RRT karena keseluruhan strategi
Jalur Sutra Tiongkok ini bisa mencapai 21 triliun dollar AS. (René L Pattiradjawane)
Editor | : Hindra Liauw | ||
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar