Sebagai
sebuah bangsa dengan sejarah kemaritiman yang gemilang, prestasi
keteladanan diplomasi kelautan yang handal, serta kemelimpahan kekayaan
alam darat-laut-udara di masa kini, menjadi poros maritim sepantasnya
bukanlah mimpi di “siang-bolong.” Saya percaya inilah takdir Indonesia
yang hendak kita jemput.
Pertanyaannya, bagaimana optimisme tadi kita rawat agar bertahan di
sepanjang pemerintahan atau bahkan setelah Pemerintahan Pak Jokowi
kelak?
Berawal dari kampung
Puncak dari pembangunan republik ini adalah kebahagian rakyat dan
umat manusia. Rakyat dalam makna mereka paling rentan; sehingga
mendapatkan kehidupan lebih layak dan terpenuhi kebutuhan mendasarnya.
Umat manusia sebagai pengejewantahan peran internasionalisme untuk
mewujudkan dunia lebih adil, damai, dan tumbuh berkualitas. Karenanya,
guna menjaga optimisme rakyat mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia membutuhkan pembenahan yang berawal dari kampung.
Studi yang pernah saya lakukan pada 2004 di 17 Kabupaten/ kota
pesisir se-Jawa Tengah menemukan tidak kurang dari 8835,41 m3 per hari
volume sampah bertumpuk di kawasan pesisir. Meski ada usaha pemerintah
mengangkut sampah tersebut, hanya sekitar 67,5 persen yang terangkut dan
berhasil dibawa ke pembuangan untuk selanjutnya di daur. Sedang lebih
30 persen sisanya di biarkan terakumulasi di kantung-kantung pesisir.
Persoalannya pun berlanjut pada pemiskinan.
Maraknya mafia perikanan hingga dibiarkannya ketimpangan penguasaan
sumber-sumber agraria kelautan telah mempersempit peran “sebesar-besar”
rakyat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Maka,
nelayan dan masyarakat pesisir pun dimiskinkan (bukan miskin).
Kedua temuan di atas sekiranya cukup menggambarkan bahwa kondisi
miskin dan kumuh di kampung nelayan bukanlah pesoalan berdiri sendiri
dan melekat pada karakter asli nelayan Indonesia. Justru, absennya
instrumen negara mulai dari penyelenggaraan pendidikan, penegakan hukum,
hingga kegiatan-kegiatan teknis (teknologi) peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha perikanan dan kelautan telah mengantarkan keluarga
nelayan dalam situasi serba minimalis.
Peluang
Direktur Jenderal Organisasi Pangan Dunia (FAO) José Graziano da
Silva, saat membuka Sidang ke-31 Komite Perikanan Dunia di Kantor Pusat
FAO, Roma Italia (10/6/2014) mengatakan, “paradoks terjadi selama ini.
Agenda pengelolaan belum berdampak ke nelayan kecil. Padahal, nelayan
kecil juga bagian dari usaha mengatasi masalah kelaparan dan
kemiskinan.”
Bagi nelayan kepulauan sebesar Indonesia, kesejahteraan nelayan tidak
saja kunci mengatasi kelaparan (suplai pangan protein), juga memastikan
keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan, penyediaan lapangan
pekerjaan, keberlanjutan budaya luhur kebaharian bangsa, termasuk
memperkuat kedaulatan Indonesia di laut.
Secara lebih operasional 4 prioritas pemerintah lima tahun ke depan,
masing-masing: Pertama, memperkuat kelembagaan kelautan. Perlu
diketahui, selain melahirkan lembaga negara yang cemerlang seperti KPK,
reformasi juga melahirkan Departemen Eksplorasi Laut (Kementerian
Kelautan dan Perikanan saat ini) dan Dewan Maritim Indonesia yang
selanjutnya berganti nama menjadi Dewan Kelautan Indonesia.
Ada 3 kesadaran mutlak saat itu, mengembalikan dan melindungi hak-hak
masyarakat paling rentan (vulnerable societies) seperti nelayan yang
sudah lama dirampas hak-haknya; meningkatkan peran negara untuk
optimalisasi kekayaan sumber daya laut bagi kesejahteraan rakyat, serta;
memperkuat adab kelautan kita.
Kedua, menggeser armada kapal ikan berbobot besar (>30GT) ke
perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Selain guna mengotimalkan
pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI, strategi ini dapat mendukung
restorasi ekosistem pesisir, meningkatkan ekonomi nelayan kecil,
sekaligus mempersempit masuknya kapal-kapal asing pencuri ikan.
Ketiga, memudahkan akses informasi dan teknologi ke perkampungan
nelayan. Utamanya terkait langsung informasi cuaca, lokasi-lokasi
penangkapan ikan, posisi nelayan di laut, serta 18 harga ikan konsumsi.
Mengapa informasi harga ikan penting? Tidak adanya harga acuan ikan
telah menyebabkan nelayan menjadi objek eksploitasi dari rantai dagang
perikanan.
Terkahir, pemerintahan ke depan juga berkewajiban untuk mendukung
tumbuh-kembangnya organisasi-organisasi nelayan yang kuat: terdidik dan
mandiri. Karena kekuatan inilah kelak yang akan menyelamatkan Indonesia
dari dampak buruk globalisasi maupun perdagangan bebas.
Jika optimisme kemaritiman di kampung-kampung nelayan ini dirawat,
Insya Allah Pak Jokowi telah meletakkan pondasi Indonesia sebagai poros
maritim dunia.
Sumber: http://jurnalmaritim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar