- Senin, 10 November 2014, 06:43 WIB
Bisnis.com, JAKARTA - Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terus menunjukkan gebrakan.
Akhir pekan lalu, Menteri Susi membeberkan sejumlah rencana besarnya.
Menteri Susi menyebutkan dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, namun ekspor perikanan Indonesia hanya seperlima Thailand.
Dia
juga prihatin, karena lemahnya daya kelola dan pengawasan pemerintah,
tingkat kerusakan sumber daya kelautan juga mengkhawatirkan. Akibatnya,
sektor kelautan belum memberian tingkat kesejahteraan yang layak,
terutama bagi para nelayan.
Dengan latar belakang itu, dan berdasarkan identifikasi persoalan utama, Menteri Susi—yang berpengalaman sebagai pengusaha kelautan yang bergerak dan besar dari bawah dan zero point—hendak membereskan apa yang disebut "illegal, unreported and unregulated fishing" sebagai prioritas mendesak.
Sektor
kelautan Indonesia, menurutnya, menghadapi masalah besar karena
eksploitasi ikan secara ilegal, tidak dilaporkan (dan tidak terpantau
oleh aparat pemerintah), dan tidak diregulasi dengan baik oleh
pemerintah.
Dampak lebih lanjut, dari ribuan kapal ikan yang
beroperasi di Indonesia, "negara tidak memperoleh apa-apa". Dia
memberikan contoh, dari sekitar 5.000-an kapal ikan, sekitar 1.800 kapal
berbenderaasing. Karenanya, ekspor hasil ikan yang ditangkap dari
perairan Indonesia tidak melalui pelabuhan Indonesia dan tidak masuk
sebagai data ekspor Indonesia.
Pasalnya, pendapatan negara bukan
pajak (PNBP) hanya dikenakan sebesar Rp30 juta per kapal per tahun.
Padahal, kapal dengan ukuran 30 GT itu mampu menghasilkan ikan hingga
600 ton per tahun.
Lebih menyedihkan lagi, kapal-kapal di atas 30
GT itu ada yang berkapasitas hingga 1.000 GT, dan celakanya menggunakan
BBM bersubsidi.
Itu adalah gambaran kapal yang beroperasi secara
legal. Bahkan diduga, kapal besar di atas 30 GT yang beroperasi secara
ilegal di perairan Indonesia, jumlahnya hingga tiga atau empat kali
lipat dari data yang terpantau pemerintah.
Bahkan, kargo besar
yang membawa hasil perikanan Indonesia, hanya dikenakan tarif PNBP
Rp8.000 per GT kargo. Dengan kata lain, negara hanya memperoleh Rp8 juta
dari setiap 1.000 GT kargo yang membawa ikan hasil tangkapan dari
perairan Indonesia, yang dibawa ke Eropa dan diolah di Thailand terlebih
dahulu.
Kapal-kapal itu pun ditengarai juga menggunakan BBM
bersubsidi, karena logikanya tidak mungkin ketika mereka kehabisan bahan
bakar harus refuelling ke negerinya dulu.
Besar kemungkinan,
kapal-kapal asing, bahkan yang ilegal, juga mengisi BBM dari Indonesia,
yang notabene bersubsidi. Lengkaplah sudah, ketidakberdayaan pemerintah
selama ini.
Maka, Menteri Susi ingin bergerak cepat, tegas, bahkan
keras. Ia tidak ingin, sumberdaya kelautan Indonesia 'menguap' begitu
mudah ke luar negeri, dan kesejahteraan nelayan Indonesia terpuruk.
Menteri
Susi pun akan melakukan pengawasan yang lebih ketat dan keras, dengan
melibatkan kerja sama lintas instansi, termasuk dengan TNI Angkatan Laut
dan Kepolisian, akan diintensifkan. Kapal-kapal asing yang beroperasi
secara leluasa, bahkan ilegal, di perairan Indonesia, akan
'dibombardir'.
Dukungan Presiden, yang dari awal menegaskan dan
melarang sikap egosektoral dalam mencapai tujuan pemerintahan ini,
agaknya menjadi payung politik yang membuat dan memberi keleluasaan bagi
Menteri Susi untuk bekerja.
Regulasi di sektor kelautan dan
perikanan juga akan segera diperbaiki. Regulasi juga akan disesuaikan
agar kompetitif terhadap negara tetangga, sehingga sektor kelautan
Indonesia dapat lebih bersaing.
Perbaikan pengawasan dan regulasi,
diharapkan akan meningkatkan pendapatan PNBP dari kapal besar,
setidaknya menjadi Rp1,27 triliun setahun, dari semula hanya Rp250
miliar per tahun.
Tentu, harian ini merasa patut mengapresiasi
tekad keras Menteri Susi. Kita bisa berharap, akan terdapat perbaikan
signifikan dalam tata kelola dan daya kelola sumberdaya kelautan
Indonesia.
Hanya dengan demikian, Indonesia menjadi negeri yang
lebih berdaulat atas sumberdaya kelautan yang dimiliki. Dengan demikian
pula, masyarakat yang terlibat di sektor ini, terutama para nelayan,
akan menjadi jauh lebih sejahtera.
Source : Bisnis Indonesia (10/11/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar