Jumat, 07 November 2014

Seminar tentang Pengadilan Internasional Hukum Laut (ITLOS) di KJRI Hamburg.

 ok - IMG 4885   
Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-85, pada tanggal 30 Oktober 2013 KJRI Hamburg bekerjasama dengan Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia (IASI) telah melaksanakan acara seminar / diskusi bertajuk “Pengadilan Internasional Hukum Laut / International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS)“.  
Hadir sebagai pembicara yaitu Sdr. Haryo Budi Nugroho, pegawai Kementerian Luar Negeri RI (diplomat muda) mahasiswa S3 bidang Hukum Laut di University of Virginia, USA yang saat ini tengah mengikuti  pelatihan di International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), sebuah badan yang didirikan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut untuk menangani masalah-masalah terkait dengan Konvensi Hukum Laut.
Acara diskusi diikuti oleh 35 orang terdiri dari pengurus dan anggota IASI, perwakilan PPI Hamburg dan Indonesian Islamic Center (IIC), Staf KJRI Hamburg, serta sejumlah tokoh masyrakat Indonesia yang berdomisili di Hamburg dan sekitarnya. Hadir pula sebagai tamu kehormatan dalam acara ini, yaitu Bapak Parni Hadi, seorang wartawan senior dan Ketua Pembina Dompet Dhuafa yang kebetulan sedang berkunjung ke Hamburg.
Dalam sambutannya, Konjen RI Hamburg, M. Estella Anwar Bey menyampaikan apresiasi  kepada Sdr. Haryo Budi Nugroho yang telah memenuhi undangan KJRI untuk memberikan pencerahan terkait keberadaan dan peran ITLOS dalam penyelesaian sengketa kelautan antar negara.  Konjen RI  menjelaskan bahwa KJRI Hamburg senantiasa bekerjasama dengan IASI atau ormas lainnya dalam memanfaatkan para tokoh, akademisi, atau cendikiawan dari Indonesia yang sedang berkunjung ke Hamburg untuk berbagi informasi tentang isu-isu yang menjadi kompetensinya dan terkait dengan kepentingan nasional Indonesia. Konjen RI menyampaikan bahwa tema yang diangkat dalam acara diskusi kali ini sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara maritim yang masih memiliki permasalahan batas laut dengan sejumlah negara tetangga. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui sampai sejauhmana kepentingan Indonesia terhadap ITLOS sebagai badan internasional yang secara khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan.     
Dalam pemaparannya, Sdr. Haryo Budi Nugroho menjelaskan antara lain mengenai latar belakang, struktur, dan kewenangan ITLOS, kasus-kasus yang telah dan sedang ditanganinya, dan  hubungan antara Indonesia dan ITLOS.
Dijelaskan bahwa ITLOS merupakan badan pengadilan independen yang dibentuk berdasarkan  Konvensi PBB tentang Hukum Laut (the United Nations  Convention on the Law of the Sea) / UNCLOS 1982.   Adapun struktur ITLOS terdiri dari Majelis Hakim (Judges), Presiden dan Wakil Presiden, Sekretariat (Registry), serta Kamar Khusus (Special Chambers) yang terdiri dari : Seabed DisputesSummary Procedure, dan Kamar Khusus lainnya (Other Special Chambers).
Terkait kewenangan ITLOS, dikemukakan bahwa Badan ini dibentuk untuk mengadili sengketa yang timbul dari penafsiran dan penerapan UNCLOS 1982 dengan jenis kewenangannya meliputi 2 aspek, yaitu: Substantive / Contentious Case dan Advisory Opinion. Sementara untuk kasus yang ditangani ITLOS harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari negara-negara yang bersengketa yang dapat dinyatakan melalui mekanisme jurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) atau melalui perjanjian khusus (Special Agreement). Mengenai compulsory jurisdiction, negara-negara pihak dalam sengketa harus memilih forum ITLOS untuk penyelesaian sengketa. Karena pada dasarnya UNCLOS 1982 memperbolehkan negara-negara pihak untuk dapat memilih forum ajudikasi penyelesaian sengketa, tidak hanya ITLOS. Pilihan tersebut adalah Mahkamah Internasional/ International Court of Justice (ICJ), ITLOS, dan Arbitrase. Agar suatu sengketa dapat dibawa ke salah satu forum, semua pihak dalam sengketa harus setuju dengan satu pilihan forum. Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai pilihan forum, maka sengketa tersebut diselesaikan melalui forum Arbitrase.
Dijelaskan pula oleh Sdr. Haryo Nugroho bahwa hingga saat ini terdapat 22 kasus yang pernah ditangani oleh ITLOS, salah satunya yang dinilai menarik adalah kasus No. 16 : Dispute Concerning Delimitation of the Maritime Boundary betweenBangladesh and Myanmar in the Bay of Bengal.  Kasus ini merupakan kasus persengketaan batas maritim pertama yang ditangani oleh ITLOS. Keputusan ITLOS terkait kasus ini dinilai sangat penting untuk ekonomi kedua negara karena menyangkut kekayaan alam yang terkandung di wilayah perairan yang dipersengketakan. Pada masalah penetapan batas laut teritorial, keputusan ITLOS lebih mendekati pada posisi atau klaim yang diajukan Bangladesh. Sementara keputusan mengenai batas ZEE dan landas kontinen merupakan pembagian antara klaim Bangladesh dan klaim Myanmar yang ditetapkan oleh dua garis yang berbeda (satu untuk batas ZEE, satu untuk landas kontinen) yang memungkinkan Bangladesh untuk memperoleh akses landas kontinen di luar 200nM. Keputusan ITLOS yang telah berhasil menyelesaikan persengketaan batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar secara damai ini mendapatkan sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk kedua negara yang bersengketa.
Dalam sesi diskusi, pertanyaan yang muncul antara lain mengenai kriteria pemilihan hakim ITLOS, perbedaan antara ITLOS dan International Court of Justice (ICJ), kasus Sipadan Ligitan, serta kepentingan Indonesia di ITLOS.
Sdr. Haryo Nugroho menjelaskan bahwa ITLOS memiliki 21 hakim independen yang dipilih dari orang-orang yang memiliki reputasi tinggi untuk keadilan dan integritas, serta memiliki kompetensi yang diakui di bidang hukum laut. Sementara mengenai perbedaan antara ITLOS dan ICJ, dijelaskan bahwa perbedaan yang sangat mendasar, yaitu terkait cakupan atau isu-isu yang ditanganinya. Isu-isu yang ditangani oleh ICJ lebih luas dan menyangkut hukum internasional yang bersifat umum, sedangkan cakupan ITLOS lebih bersifat khusus, yakni mengenai interpretasi dan aplikasi UNCLOS 1982. 
Terkait kasus Sipadan Ligitan, menurut Sdr. Haryo Nugroho sebenarnya penyelesain kasus ini  berada di luar kewenangan ITLOS, dan kedua negara yang bersengketa (Indonesia dan Malaysia) telah sepakat untuk menyelesaikannya melalui  International Court of Justice (ICJ).  Selain itu, keputusan untuk menghentikan upaya negosiasi dan memilih forum ICJ untuk menyelesaikan sengketa Sipadan Ligitan lebih ke arah politis dimana keputusannya datang dari mantan Presiden Suharto pada waktu itu, dan Kemlu dalam urusan tersebut tidak berwenang memutuskan dimana sengketa itu harus diselesaikan.  Lebih lanjut Sdr Haryo Nugroho mengemukakan bahwa sebenarnya Indonesia tidak pernah kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan karena Indonesia memang tidak pernah memilikinya. Pulau Sipadan dan Ligitan secara hukum memang bukan dan belum pernah menjadi bagian dari wilayah nasional Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada fakta bahwa kedua pulau tersebut tidak masuk dalam peta sebagai bagian dari wilayah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pada Perpu No. 4/ 1960 tentang Perairan Indonesia, yang merupakan kesempatan pertama Indonesia menetapkan garis pangkal kepulauannya setelah kemerderdekaan dan Deklarasi Djuanda, Indonesia tidak memasukan kedua pulau tersebut. Demikian juga dengan Belanda pada saat menduduki Indonesia tidak pernah melakukan aktifitas yang menunjukan kedaulatannya di Sipadan dan Ligitan. Di sisi lain Inggris mendaftarkan kedua pulau tersebut sebagai wilayah keberlakuan peraturan perundang-undangan mengenai pengumpulan telur penyu dan perlindungan suaka untuk burung-burung. Atas pertimbangan tersebut, Malaysia memiliki kedua pulau tersebut sebagai suksesor Inggris. 
Dalam sesi diskusi juga muncul pertanyaan mengenai hubungan antara instansi hukum dan instansi teknis di Indonesia. Dalam penerapan UNCLOS 1982, kerjasama antara bidang hukum dan bidang teknis sangat penting. Meskipun UNCLOS 1982 merupakan instrumen hukum, aplikasi peraturan-peraturan dalam UNCLOS, terutama untuk delimitasi, harus dijabarkan secara teknis. Ilmu-ilmu seperti hidrografi, geodesi, dan kartologi (pemetaan) memegang peranan kunci dalam aplikasi UNCLOS. Untuk itu, kerjasama antar instansi nasional sangat diperlukan untuk menjaga kesinambungan aplikasi UNCLOS di lapangan.  
Mengakhiri pemaparannya, Sdr. Haryo Nugroho menyatakan bahwa sejak pembentukan ITLOS hingga saat ini belum pernah ada Hakim / Registrar / Pejabat ITLOS dari Indonesia, dan belum pernah ada kasus yang melibatkan Indonesia yang ditangani oleh ITLOS.  Meski susah untuk dipastikan karena pemilihan hakim ITLOS merupakan perpaduan unsur kompetensi dan politis, tidak adanya hakim asal Indonesia di ITLOS merupakan kombinasi antara kurangnya pakar-pakar hukum laut dan sulitnya mendapat dukungan dari negara-negara di regional. Selain Hasjim Djalal, Etty Agoes, Hassan Wirajuda, dan Arif Havas Oegroseno, belum ada pakar lain yang diakui secara internasional. Kemudian, pemilihan hakim ITLOS diatur dengan kuota regional, sehingga dukungan nasional tidak cukup, dan calon dari Indonesia harus memperoleh dukungan regional Asia.
Acara diskusi berlangsung menarik selama hampir dua jam dan dikemas dalam format  yang sederhana dan suasana penuh keakraban. Usai diskusi para undangan yang hadir disuguhi sajian makan malam berupa mie ayam dan jajanan pasar khas indonesia (Sumber : Pensosbud KJRI Hamburg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar