Hadir
sebagai pembicara yaitu Sdr. Haryo Budi Nugroho, pegawai Kementerian
Luar Negeri RI (diplomat muda) mahasiswa S3 bidang Hukum Laut di
University of Virginia, USA yang saat ini tengah mengikuti pelatihan di International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS),
sebuah badan yang didirikan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut
untuk menangani masalah-masalah terkait dengan Konvensi Hukum Laut.
Acara diskusi diikuti oleh 35 orang terdiri dari pengurus dan anggota IASI, perwakilan PPI Hamburg dan Indonesian Islamic Center (IIC),
Staf KJRI Hamburg, serta sejumlah tokoh masyrakat Indonesia yang
berdomisili di Hamburg dan sekitarnya. Hadir pula sebagai tamu
kehormatan dalam acara ini, yaitu Bapak Parni Hadi, seorang wartawan
senior dan Ketua Pembina Dompet Dhuafa yang kebetulan sedang berkunjung
ke Hamburg.
Dalam
sambutannya, Konjen RI Hamburg, M. Estella Anwar Bey menyampaikan
apresiasi kepada Sdr. Haryo Budi Nugroho yang telah memenuhi undangan
KJRI untuk memberikan pencerahan terkait keberadaan dan peran ITLOS
dalam penyelesaian sengketa kelautan antar negara. Konjen
RI menjelaskan bahwa KJRI Hamburg senantiasa bekerjasama dengan IASI
atau ormas lainnya dalam memanfaatkan para tokoh, akademisi, atau
cendikiawan dari Indonesia yang sedang berkunjung ke Hamburg untuk
berbagi informasi tentang isu-isu yang menjadi kompetensinya dan terkait
dengan kepentingan nasional Indonesia. Konjen RI menyampaikan bahwa
tema yang diangkat dalam acara diskusi kali ini sangat penting mengingat
Indonesia merupakan negara maritim yang masih memiliki permasalahan
batas laut dengan sejumlah negara tetangga. Oleh karena itu, kita perlu
mengetahui sampai sejauhmana kepentingan Indonesia terhadap ITLOS
sebagai badan internasional yang secara khusus menangani sengketa yang
berhubungan dengan kelautan.
Dalam
pemaparannya, Sdr. Haryo Budi Nugroho menjelaskan antara lain mengenai
latar belakang, struktur, dan kewenangan ITLOS, kasus-kasus yang telah
dan sedang ditanganinya, dan hubungan antara Indonesia dan ITLOS.
Dijelaskan bahwa ITLOS merupakan badan pengadilan independen yang dibentuk berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (the United Nations Convention on the Law of the Sea) / UNCLOS 1982. Adapun struktur ITLOS terdiri dari Majelis Hakim (Judges), Presiden dan Wakil Presiden, Sekretariat (Registry), serta Kamar Khusus (Special Chambers) yang terdiri dari : Seabed Disputes, Summary Procedure, dan Kamar Khusus lainnya (Other Special Chambers).
Terkait
kewenangan ITLOS, dikemukakan bahwa Badan ini dibentuk untuk mengadili
sengketa yang timbul dari penafsiran dan penerapan UNCLOS 1982 dengan
jenis kewenangannya meliputi 2 aspek, yaitu: Substantive / Contentious Case dan Advisory Opinion.
Sementara untuk kasus yang ditangani ITLOS harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari negara-negara yang bersengketa yang dapat
dinyatakan melalui mekanisme jurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction) atau melalui perjanjian khusus (Special Agreement). Mengenai compulsory jurisdiction, negara-negara
pihak dalam sengketa harus memilih forum ITLOS untuk penyelesaian
sengketa. Karena pada dasarnya UNCLOS 1982 memperbolehkan negara-negara
pihak untuk dapat memilih forum ajudikasi penyelesaian sengketa, tidak hanya ITLOS. Pilihan tersebut adalah Mahkamah Internasional/ International Court of Justice (ICJ),
ITLOS, dan Arbitrase. Agar suatu sengketa dapat dibawa ke salah satu
forum, semua pihak dalam sengketa harus setuju dengan satu pilihan
forum. Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai pilihan forum, maka
sengketa tersebut diselesaikan melalui forum Arbitrase.
Dijelaskan
pula oleh Sdr. Haryo Nugroho bahwa hingga saat ini terdapat 22 kasus
yang pernah ditangani oleh ITLOS, salah satunya yang dinilai menarik
adalah kasus No. 16 : Dispute Concerning Delimitation of the Maritime Boundary betweenBangladesh and Myanmar in the Bay of Bengal. Kasus
ini merupakan kasus persengketaan batas maritim pertama yang ditangani
oleh ITLOS. Keputusan ITLOS terkait kasus ini dinilai sangat penting
untuk ekonomi kedua negara karena menyangkut kekayaan alam yang
terkandung di wilayah perairan yang dipersengketakan. Pada masalah
penetapan batas laut teritorial, keputusan ITLOS lebih mendekati pada
posisi atau klaim yang diajukan Bangladesh. Sementara keputusan mengenai
batas ZEE dan landas kontinen merupakan pembagian antara klaim
Bangladesh dan klaim Myanmar yang ditetapkan oleh dua garis yang berbeda
(satu untuk batas ZEE, satu untuk landas kontinen) yang memungkinkan
Bangladesh untuk memperoleh akses landas kontinen di luar 200nM.
Keputusan ITLOS yang telah berhasil menyelesaikan persengketaan batas
maritim antara Bangladesh dan Myanmar secara damai ini mendapatkan
sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk kedua negara yang
bersengketa.
Dalam sesi diskusi, pertanyaan yang muncul antara lain mengenai kriteria pemilihan hakim ITLOS, perbedaan antara ITLOS dan International Court of Justice (ICJ), kasus Sipadan Ligitan, serta kepentingan Indonesia di ITLOS.
Sdr.
Haryo Nugroho menjelaskan bahwa ITLOS memiliki 21 hakim independen yang
dipilih dari orang-orang yang memiliki reputasi tinggi untuk keadilan
dan integritas, serta memiliki kompetensi yang diakui di bidang hukum
laut. Sementara mengenai perbedaan antara ITLOS dan ICJ, dijelaskan
bahwa perbedaan yang sangat mendasar, yaitu terkait cakupan atau isu-isu
yang ditanganinya. Isu-isu yang ditangani oleh ICJ lebih luas dan
menyangkut hukum internasional yang bersifat umum, sedangkan cakupan
ITLOS lebih bersifat khusus, yakni mengenai interpretasi dan aplikasi
UNCLOS 1982.
Terkait
kasus Sipadan Ligitan, menurut Sdr. Haryo Nugroho sebenarnya
penyelesain kasus ini berada di luar kewenangan ITLOS, dan kedua negara
yang bersengketa (Indonesia dan Malaysia) telah sepakat untuk
menyelesaikannya melalui International Court of Justice (ICJ). Selain
itu, keputusan untuk menghentikan upaya negosiasi dan memilih forum ICJ
untuk menyelesaikan sengketa Sipadan Ligitan lebih ke arah politis
dimana keputusannya datang dari mantan Presiden Suharto pada waktu itu,
dan Kemlu dalam urusan tersebut tidak berwenang memutuskan dimana
sengketa itu harus diselesaikan. Lebih lanjut Sdr Haryo Nugroho
mengemukakan bahwa sebenarnya Indonesia tidak pernah kehilangan pulau
Sipadan dan Ligitan karena Indonesia memang tidak pernah memilikinya.
Pulau Sipadan dan Ligitan secara hukum memang bukan dan belum pernah
menjadi bagian dari wilayah nasional Indonesia. Hal tersebut didasarkan
pada fakta bahwa kedua pulau tersebut tidak masuk dalam peta sebagai
bagian dari wilayah Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ada. Pada Perpu No. 4/ 1960 tentang Perairan Indonesia, yang
merupakan kesempatan pertama Indonesia menetapkan garis pangkal
kepulauannya setelah kemerderdekaan dan Deklarasi Djuanda, Indonesia
tidak memasukan kedua pulau tersebut. Demikian juga dengan Belanda pada
saat menduduki Indonesia tidak pernah melakukan aktifitas yang
menunjukan kedaulatannya di Sipadan dan Ligitan. Di sisi lain Inggris
mendaftarkan kedua pulau tersebut sebagai wilayah keberlakuan peraturan
perundang-undangan mengenai pengumpulan telur penyu dan perlindungan
suaka untuk burung-burung. Atas pertimbangan tersebut, Malaysia memiliki
kedua pulau tersebut sebagai suksesor Inggris.
Dalam
sesi diskusi juga muncul pertanyaan mengenai hubungan antara instansi
hukum dan instansi teknis di Indonesia. Dalam penerapan UNCLOS 1982,
kerjasama antara bidang hukum dan bidang teknis sangat penting. Meskipun
UNCLOS 1982 merupakan instrumen hukum, aplikasi peraturan-peraturan
dalam UNCLOS, terutama untuk delimitasi, harus dijabarkan secara teknis.
Ilmu-ilmu seperti hidrografi, geodesi, dan kartologi (pemetaan)
memegang peranan kunci dalam aplikasi UNCLOS. Untuk itu, kerjasama antar
instansi nasional sangat diperlukan untuk menjaga kesinambungan
aplikasi UNCLOS di lapangan.
Mengakhiri
pemaparannya, Sdr. Haryo Nugroho menyatakan bahwa sejak pembentukan
ITLOS hingga saat ini belum pernah ada Hakim / Registrar / Pejabat ITLOS
dari Indonesia, dan belum pernah ada kasus yang melibatkan Indonesia
yang ditangani oleh ITLOS. Meski
susah untuk dipastikan karena pemilihan hakim ITLOS merupakan perpaduan
unsur kompetensi dan politis, tidak adanya hakim asal Indonesia di
ITLOS merupakan kombinasi antara kurangnya pakar-pakar hukum laut dan
sulitnya mendapat dukungan dari negara-negara di regional. Selain Hasjim
Djalal, Etty Agoes, Hassan Wirajuda, dan Arif Havas Oegroseno, belum
ada pakar lain yang diakui secara internasional. Kemudian, pemilihan
hakim ITLOS diatur dengan kuota regional, sehingga dukungan nasional
tidak cukup, dan calon dari Indonesia harus memperoleh dukungan regional
Asia.
Acara
diskusi berlangsung menarik selama hampir dua jam dan dikemas dalam
format yang sederhana dan suasana penuh keakraban. Usai diskusi para
undangan yang hadir disuguhi sajian makan malam berupa mie ayam dan
jajanan pasar khas indonesia (Sumber : Pensosbud KJRI Hamburg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar