Jakarta, JMOL ** Pakar kelautan Indonesia, Sarwono
Kusumaatmadja, mengungkapkan, gebrakan yang dilakukan sejumlah menteri
di bawah Menko Maritim sudah cukup bagus. Pasalnya, selama ini, sektor
kelautan, baik di bidang penangkapan ikan maupun pariwisata belum
berjalan optimal.
“Gebrakan yang dilakukan Menko Maritim sudah cukup lumayan, seperti
di bidang pariwisata yang akan menyerderhanakan perizinan kapal pesiar (cruise) dan kapal layar (yacht). Di sektor industri maritim akan memberikan insentif fiskal dan non-fiskal. Terakhir, untuk kegiatan pemberantasan illegal fishing juga sudah cukup bagus,” tutur Sarwono, Selasa (19/11/2014).
Kendati demikian, lanjut Sarwono, untuk menjadi negara Poros Maritim Dunia atau menuju good maritime governance,
banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan presiden beserta kabinet
maritimnya. Untuk membereskannya, hal pertama yang harus dilakukan
adalah segera merevolusi mental masyarakat, khususnya jajaran yang
terkait maritim.
“Selama ini, ada yang salah dengan sistem birokrasi kita. Sayangnya,
walaupun mereka sadar bahwa itu salah, namun mereka terlalu malas untuk
mengubahnya. Istilahnya, seperti berada dalam sumur yang lembap dan
gelap, tetapi mereka malas untuk naik ke atas,” ujar Sarwono.
Meski begitu, Sarwono optimis, Presiden Jokowi beserta jajaran dapat
mengubahnya, terkhusus di empat bidang, yakni perhubungan laut,
penangkapan ikan, industri maritim, dan wisata bahari.
Untuk perhubungan laut, menurut Sarwono, pemerintah harus segera
melakukan audit, terkait aturan yang dikeluarkan International Maritime
Organization (IMO), baik yang sudah diratifikasi atau belum. Karena,
walaupun pemerintah telah meratifikasi, pelaksanaannya masih jadi
pertanyaan. Hal tersebut penting, karena menyangkut keselamatan
pelayaran.
“Berbeda dengan kecelakaan di darat, kecelakaan kapal di laut masih
belum ada kejelasan dalam penanganannya. Kita tidak pernah tahu
bagaimana akhirnya kasus tersebut,” ujarnya.
Sarwono menjelaskan, Mahkamah Pelayaran yang selama ini berada di
bawah Perhubungan Laut (Hubla) harus dipisahkan dan digabung ke Mahkamah
Agung, kecuali jika untuk memeriksa perizinan kapal atau nakhoda.
“Satu lagi, untuk perhubungan laut, yakni menyangkut pelabuhan,
menjadi PR perhubungan laut, bagaimana menyelesaikan administrasi laut
tersebut selesai dengan cepat, sehingga dapat mengefisiensi biaya dan
waktu,” katanya.
Kesejahteraan Nelayan
Pada perbaikan sektor penangkapan ikan, ungkap Sarwono, harus ada penuntasan masalah illegal fishing, serta perbaikan supply chain perikanan, baik itu dengan memperbanyak cold storage atau dalam memaksimalkan potensi yang ada. Hal yang tidak kalah pentingnya, memperbaiki kesejahteraan nelayan.
“Saya setuju jika BBM nelayan dicabut agar mafia BBM tidak lagi
diuntungkan, tetapi dengan syarat pemerintah harus memberikan
kompensasi, baik itu berupa asuransi kesehatan bagi nelayan, perbaikan
rumah nelayan, asuransi jiwa, dan segala kebutuhan nelayan bisa
diakomodasi,” tuturnya.
Sarwono menilai saat ini, industri maritim memang cukup bagus dengan
insentif fiskal, hanya saja baru untuk Batam. Sekarang, bagaimana
caranya agar insentif tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia.
Sementara untuk masalah dana, kata Sarwono, menjadi PR pemerintah
untuk mengadakan SDM analis keuangan di sektor maritim. Selama ini bank
di Indonesia tidak memiliki analis kemaritiman, sehingga mereka tidak
memahami potensi bidang kemaritiman.
“Selama ini, bank hanya berani memberikan pinjaman kepada para
nasabah yang sudah dipercaya, seperti nasabah mereka yang sebelumnya
sudah meminjam modal untuk membangun properti atau lainnya, bukan atas
sudut pandang karena bank tahu potensi industri maritim,” katanya.
Pada bidang wisata bahari, sambung Sarwono, Menko Maritim sudah cukup
bagus dengan program penyederhanaan izin. Namun, lebih bagus lagi jika
menghapuskan uang jaminan kapal layar atau pesiar jika hendak masuk
perairan Indonesia. Dengan begitu, para wisatawan tidak malas masuk
Indonesia.
“Terkadang uang jaminan tersebut lama dikembalikan. Mereka membiarkan
uang tersebut berbunga. Padahal, dihitung, potensi uang dari bunga
tersebut tidak seberapa,” ujarnya.
Sarwono menganjurkan untuk membangun marina atau pelabuhan khusus
kapal layar atau pesiar. Sebagai Negara Maritim, Indonesia hanya
memiliki satu marina di Kepulauan Riau.
Mengubah Istilah MEF
Selain empat sektor di bawah Menko maritim tersebut, PR sektor
maritim lain adalah pertahanan. Untuk pertahanan ini, terang Sarwono,
Indonesia harus menunjukkan kepada dunia, kuat dalam segi pertahanan
diri. Namun, dengan memamerkan kekuatan ini, tunjukkan pula bahwa
Indonesia tidak bermaksud mengekspansi atau merongrong negara lain.
“Istilah Minimum Essential Force (MEF) itu harus diubah. Kesannya
kita lemah dalam segi pertahanan, karena targetnya kita masih di level
minimum. Jadi, kita harus mengubahnya. Pokoknya, kita harus tunjukkan
bahwa kita Negara Kepulauan yang kuat,” ucap Sarwono.
Ia menambahkan, pembentukan Dewan Bahari cukup penting. Sebab, Menko
Maritim tidak bisa mengkover sektor maritim secara keseluruhan, yakni
hanya membawa empat kementerian, sementara yang terkait dengan maritim
ada 13 kementerian. Oleh karena itu, penting untuk membentuk Dewan
Bahari yang langsung di bawah presiden.
“Menko Maritim bisa menjadi Ketua Hariannya, namun Ketua Umumnya
tetap Presiden. Presiden bisa menggelar rapat tiga bulan sekali, tidak
perlu terlalu sering. Terpenting, rapatnya berbeda dengan rapat
kabinet,” pungkasnya.
Sumber: http://jurnalmaritim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar