REP
| 02 November 2013 | 11:58
Oleh : Restu Putri Astuti
Walaupun saya bukan mahasiswa hukum tapi saya bangga menjadi mahasiswa
perikanan. Jadi mari kita melek hukum perikanan. Saya akan membahas
tentang pemahaman rendah masyarakat Indonesia tentang UNCLOS (United
Nations Convention on the Law of The Sea) atau yang disebut sebagai
Hukum Laut Internasional. Indonesia yang dikenal sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia memang akhirnya bisa mendapatkan hak untuk
mengelola kedaulatan hingga 200 mil yang diawali dengan Deklarasi
Djuanda. Masih ingatkah kita dengan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja
pada 13 Desember 1957 (yang akhirnya diperingati sebagai Hari
Nusantara) yang menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan. Yang saat
itu ditentang oleh beberapa negara akibat wilayah laut – laut
antarpulau merupakan wilayah RI bukan kawasan bebas tapi tentu saja
belum diakui oleh Internasional. Dan pada akhinya Deklarasi Djuanda
dapat diterima dan ditetapkan dalam UNCLOS 1982. Bayangkan jika tak ada
Deklarasi Djuanda dan akhirnya diketuk palu di UNCLOS tahun 1982,
Indonesia tidak akan berdaulat karena tidak mampu mengawasi dan
timbulnya sengketa dengan negara lain. Selain itu, dengan adanya UNCLOS
1982 menjadi pijakan dasar mengelola potensi sumberdaya kelautan. Jika
tidak dipahami maka kebijakan pengelolalan menjadi tumpang tindih.
Seperti yang dilansir berita hukumonline.com (02/11/22013), para kepala
daerah belum sepenuhnya memahami tentang Konvensi Hukum Laut
Internasional (UNCLOS 1982). Malah beberapa daerah berencana membentuk
provinsi kepulauan yang bertentangan dengan UNCLOS 1982. Bukti rendahnya
pemahaman UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 memberikan dasar hukum bagi negara –
negara pantai untuk menentukan batasan lautan sampai ZEE dan landasan
kontinen. Tak usah dibayangkan, pasti percaya bahwa potensi ekonomi laut
Indonesia diperkirakan 1,2 triliun dolas AS per tahun atau 10 kali APBN
2012. Waaw, tapi anggaran untuk kelautan dan perikanan tahun 2013 malah
dipotong. Doktrin Hugo Grotius sebagai Bapak Hukum Laut Internasional
yang menyatakan bahwa laut bebas tidak untuk dimiliki, namun harus
memiliki batas – batas yang jelas. Walaupun sesungguhnya lautan tidak
bisa dikapling-kapling. Siapa pemiliknya. Hanya saja, sebagai bukti
dulunya Bangsa Indonesia dengan mudahnya dijajah Belanda selama 350
tahun, akibat tidak ada kedaulatan wilayah perairan. Kini, setelah lepas
dari penjajah apakah Indonesia sudah lebih baik lagi? Kini, pengacara
dan ahli hukum sibuk mengurusi perkara pidana dan perdata. Seakan
terlupa dengan jiwa sejati bangsa Indonesia sebagai negara maritim yang
membutuhkan ahli hukum laut internasional. Indonesia minim ahli hukum
laut internasional. Belum juga merdeka walau sudah berdaulat mengelola
wilayah 200 mil. Buktinya masih miskin dan banyak sengketa antar negara.
Belum lagi kasus nelayan Indonesia yang ditangkap negara tetangga yang
disinyalir melewati batas negara dan mencuri ikan. Dan sudah sterilkah
perairan Indonesia dari pencuri – pencuri ikan berbendera asing? Belum
juga. Oo, mirisnya. Akibat lemahnya aparat pemerintah Indonesia baik
secara armada dan keamanan terhadap nelayan serta kedaulatan NKRI. Kini
saatnya, kita generasi muda harus memahami UNCLOS 1982 jika tak ingin
kehilangan kedaulatan NKRI di masa mendatang.
http://hukum.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar