Arif Budisusilo Sabtu, 22/11/2014 11:07 WIB
Ada momen yang tidak biasa dalam acara Banker's Dinner, yang digelar Bank Indonesia, Kamis (20/11) malam, beberapa waktu lalu.
Acara Pertemuan Tahunan Perbankan yang lazimnya hanya diisi Pidato Tahunan Gubernur Bank Indonesia itu, kali ini istimewa.
Pertama, agaknya baru kali ini Banker's Dinner diselenggarakan bertempat di luar gedung Bank Indonesia, yakni di Balai Sidang Jakarta. Kedua, ada tamu istimewa, Presiden RI Joko Widodo.
Sebagai
inti acara, Gubernur BI Agus Martowardojo, seperti biasa, menyampaikan
pokok-pokok kebijakan perbankan, sekaligus proyeksi ekonomi 2015.
Pak
Gubernur memaparkan banyak hal, mulai dari ekonomi dunia yang hanya
diterbangkan oleh satu mesin --normalisasi ekonomi Amerika-- lalu
kebijakan perbankan, hingga kebijakan domestik terkait subsidi BBM.
Tak lupa, Gubernur BI menjelaskan respons kebijakan moneter yang disebutnya pre-emptive policy,
dengan menaikkan BI Rate segera sebesar 25 basis poin, pascakenaikan
harga bahan bakar minyak. Tujuannya untuk mencegah agar laju inflasi
tidak melonjak kebablasan.
Istilah pre-emptive itu mengingatkan saya saat ketegangan di Irak memanas beberapa tahun lalu. Para petinggi sekutu Amerika kerap menggunakan istilah pre-emptive strike, yang kerap dilakukan dengan serangan bombardir udara, untuk menakut-nakuti Irak.
***
Tapi
Pidato Presiden Jokowi--panggilan akrab Joko Widodo-- tak kalah
menarik, bahkan menyedot perhatian, meski hanya berlangsung singkat, dan
'maaf': tidak terstruktur.
Presiden Jokowi berbicara sekitar 15
menit tanpa teks, dan ceplas-ceplos, tidak banyak basa-basi. "Pidato
Presiden langsung ke pokok persoalan," kata Presiden Direktur
Commonwealth Bank Tony Costa.
Apa sih yang disampaikan Presiden
Jokowi? Tak terlalu baru sebenarnya. Tetapi Presiden mengemas dengan
cara yang agak berbeda. Bacaan saya, ada pesan strategis yang hendak
disampaikan, meski implisit, dan halus.
Setelah sedikit menyampaikan greetings
kepada tetamu yang hadir --para bankir, pemilik bisnis, petinggi
lembaga negara, para menteri, hingga para gubernur kepala daerah -- Pak
Jokowi bercerita saat bertemu dengan para pemimpin dunia di Beijing,
pekan kedua November lalu.
Jokowi memulai dengan pernyataannya
soal keajaiban ekonomi China. "Bertahun-tahun saya tanda tanya dengan
meroketnya Tiongkok sebagai raksasa ekonomi dunia. Mengapa begitu,
padahal dia komunis, bukan kapitalis," kata Jokowi.
Seperti kita
tahu, ekonomi China tumbuh di atas 7% beberapa tahun terakhir, setelah
sebelumnya tumbuh di kisaran di atas 10%, bahkan 12% per tahun.
Lantas
Presiden bercerita, dalam kesempatan pertemuan APEC di Beijing, ia
selalu duduk berdampingan dengan Presiden China Xi Jinping.
Sembari
mengangkat tangan dan menunjukkan empat jarinya, Presiden menceritakan
posisi duduknya, yang selalu dalam formasi di antara Presiden Xi dan
Presiden AS Barack Obama, dan di sisi lainnya Presiden Putin dari Rusia.
"Pas
acara makan, saya bertanya; Presiden Xi, saya mau tanya, beri tiga
kunci sukses kenapa Tiongkok bisa sukses meloncat. Tiga saja," katanya.
Atas pertanyaan Jokowi itu, Presiden Xi menyampaikan jawaban: pertama adalah partai yang bersatu. "Nah, ini yang sulit," kata Jokowi disambut tawa para undangan Banker's Dinner.
Kalau partai tidak bersatu, dia mengutip Presiden Xi, bagaimana membuat visi yang sama ke depan.
Kedua, gagasan besar. Gagasan, rencana, mimpi. Caranya? Tugas pemimpinlah untuk mengembangkan gagasan besar, dan melaksanakannya.
Misalnya
bikin pelabuhan, jangan hanya untuk kegunaan 10 tahun, tetapi 50 tahun
dan 100 tahun ke depan. Jangan hanya 10 hektar, tetapi 1500 hektar dan
2000 hektar; agar tidak perlu repot pembebasan lagi saat diperlukan
ekspansi di kemudian hari
Dia memberi contoh pembangunan MRT yang
saat ini sedang dikerjakan, biayanya mahal sekali karena untuk
membebaskan lahan butuh sedikitnya Rp20 juta atau 40 juta per meter
persegi. Ada yang Rp60 juta, bahkan.
MRT adalah sistem transportasi massal berbasis kereta yang sekarang sedang dibangun di Jakarta.
Ketiga,
segera membangun infrastruktur untuk konektivitas. Infrastruktur
konektivitas ini penting, antarkota, antarprovinsi, antarpulau.
Membangun jalan jangan yang kecil-kecil, tetapi yang besar-besar. "Coba
deh kalau 26 tahun lalu kita sudah membangun MRT dan jalan yang besar,
ongkosnya jauh lebih murah."
Dalam kaitan itu pulalah,
Presiden menjelaskan, pengalihan subsidi BBM dilakukan, meski berdampak
pada kenaikan harga BBM. Pemerintah ingin memiliki kesempatan lebih
besar membangun infrastruktur dasar termasuk waduk (bendungan) dan
jalan.
"Bayangkan, uang subsidi Rp300 triliun
setahun, kalau untuk membangun waduk masing-masing butuh biaya Rp500
miliar, setiap tahun bisa bangun berapa waduk, 1.200 waduk lebih. Dalam
lima tahun, negeri ini bisa-bisa dipenuhi waduk," katanya beranalogi,
yang disambut gerrrr hadirin.
***
Resep Xi Jinping itu tampaknya hendak dan sudah disadur oleh Jokowi.
Sembari
tampak ingin mengingatkan bahwa 'kapitalisme' telah menjadi cara China
memajukan negeri komunis itu, Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia juga
harus siap membuka investasi dari luar lebih besar lagi. "FDI harus
digenjot," katanya.
FDI adalah investasi asing yang langsung
dipakai untuk membangun pabrik-pabrik, kebun, atau bangunan fisik
lainnya, termasuk infrastruktur.
Investasi inilah yang akan
dijadikan andalan untuk menggenjot pembangunan, karena ia akan
menciptakan banyak lapangan kerja, yang berarti mengurangi pengangguran
dan kemiskinan.
Jokowi menegaskan, nggak perlu khawatir
terhadap investasi asing langsung, karena investor asing itu tidak
mungkin membawa pulang kembali jembatan, pelabuhan atau jalan yang telah
dibangun di Indonesia.
Pada akhirnya, kata Jokowi, aset tersebut adalah milik Indonesia. "Saya tanya kepada wakil ketua PKC, kok nggak khawatir dengan investasi asing?"
Jokowi
memperoleh jawaban memuaskan. "Mosok bikin jalan, pelabuhan, dibawa
pulang ke negara mereka. Mosok bikin pabrik, pabriknya dibawa pulang?"
kata Jokowi menirukan ucapan pejabat PKC itu.
PKC adalah Partai
Komunis China, parpol penguasa negeri, yang telah mereformasi China
menjalankan sistem ekonomi pasar sosial seperti sekarang ini.
Karena
itu, kata Jokowi pula, yang penting saat ini adalah memberikan berbagai
kemudahan dalam berbisnis di Indonesia, termasuk perizinan.
"Perizinan di kita lambat. Bukan lambat lagi, tapi sangat lambat," ujarnya.
"Mosok, mau bikin power plant, 6 tahun belum dapat izin?" lanjut Jokowi.
Dia
pun bercerita, saat bertemu di sebuah hotel belum lama ini, Jokowi
bertanya kepada pengusaha yang ingin membangun pembangkit listrik (power
plant). "Saya tanya, berapa bulan dapat izin, dijawab, sudah dua tahun
belum dapat izin Pak," kata Jokowi.
Tapi ternyata waktu terus
'bertambah'. Dalam pertemuan di Jakarta dengan anggota Kadin, dia
mendapatkan jawaban lain lagi," Sudah 4 tahun belum dapat."
Di Sumatera Selatan, bertambah lagi. "Saya tanya, dijawab 6 tahun belum dapat izin."
"Saya sekarang tak mau tanya lagi... nanti bisa-bisa dijawab 8 tahun," seloroh Pak Jokowi.
Karena
itu, proses perizinan menjadi salah satu fokus perhatiannya. "Ini yang
saya mau obrak-abrik. Izin itu apa sih? Tulisan di atas kertas. Tinggal
di-tik, saya sudah coba, lima menit selesai," katanya.
Ia
pun bercerita, izin pembangkit listrik di Palembang sudah diurusnya,
dan seminggu selesai. "Mosok Presiden urus izin-izin. Tapi nggak papa, kalau yang susah-susah, tak urus saja," lanjutnya.
***
Tampaknya, seperti diakui oleh Jokowi, mungkin yang paling sulit dari tiga resep Xi Jinping itu adalah resep nomor satu: partai politik yang bersatu.
Kita
tentu sudah tahu, rivalitas dua kubu di parlemen, yakni Koalisi Metrah
Putih dan Koalisi Indonesia Hebat begitu sengit. Koalisi Merah Putih
yang bertindak sebagai oposisi saat ini dominan, suara mereka jauh di
atas Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Jokowi.
Namun, Presiden optimistis, kondisi politik akan semakin stabil beberapa bulan ke depan.
Saat
ini, katanya, dukungan politik di parlemen masih sekitar 38% anggota
DPR yang medukung Jokowi. "Tapi dalam 6 bulan, syukur bisa 60%, 70%
bahkan 80%," katanya optimistis.
Jokowi pun buru-buru menyambung; tak perlu memperoleh dukungan politik sampai 100%, karena negara tetap harus ada check and ballance.