Jumat, 21 November 2014

Dirjen P2HP KKP: Indonesia Telanjur Gunakan Sistem Liberal dalam Perdagangan Perikanan

LIBERAL - Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut P. Hutagalung dalam konferensi pers peringatan Hari Ikan Nasional (Harkannas) di Gedung III Mina Bahari KKP, Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2014). Saut menilai, Indonesia telanjur menggunakan sistem liberal dalam perdagangan perikanan. (Foto: JM Foto/Firmanto Hanggoro)
LIBERAL – Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut P. Hutagalung dalam konferensi pers peringatan Hari Ikan Nasional (Harkannas) di Gedung III Mina Bahari KKP, Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2014). Saut menilai, Indonesia telanjur menggunakan sistem liberal dalam perdagangan perikanan. (Foto: JM Foto/Firmanto Hanggoro)

Jakarta, JMOL ** Daya saing Indonesia dalam perdagangan perikanan dunia semakin lemah. Pelemahan daya saing tersebut dikarenakan tarif bea masuk yang dikenakan pada negara-negara G-20 pengekspor produk cukup tinggi dibanding negara di luar anggota G-20.
Hal tersebut diungkapkan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut P. Hutagalung dalam konferensi pers peringatan Hari Ikan Nasional (Harkannas) di Gedung III Mina Bahari KKP, Jalan Medan Merdeka Timur Nomor 16, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2014).
“Alasan Ibu Menteri minta Indonesia keluar dari keanggotaan G-20, karena ekspor perikanan kita kena tarifnya lebih tinggi. Tarif bea masuk yang cukup tinggi tersebut membuat daya saing ekspor perikanan kita melemah,” ujar Saut.
Menurut Saut, hal tersebut sangat jelas berbeda dengan dunia perdagangan global, yang tarif bea masuk produknya sudah hampir 0 persen. Sedangkan negara-negara eksportir G-20 dikenakan tarif bea masuk yang besar, bahkan besaran tarif tersebut ada yang mencapai angka 40 persen.
“Ke Timur Tengah kena (tarif bea masuk) 30-40 persen. Produk tuna kaleng ke Uni Eropa kena tarif 20,5 persen. Kalau Ekuador, Papua Nugini, atau negara lain yang bukan anggota G-20 ekspor tuna kaleng kena tarif nol persen. Ikan apa saja juga tetap nol persen. Dan sebaliknya juga tarif bea impor juga sudah 5 persen, meski ke sesama anggota G-20,”tuturnya.
Ia mengatakan, kecilnya tarif bea masuk produk ikan luar ke Indonesia tersebut memang berbeda dengan anggota G-20 lain. Hal ini karena Indonesia sudah telanjur menggunakan sistem liberal dalam perdagangan perikanan, dan parahnya lagi, Indonesia sudah tidak bisa mengubahnya, kecuali jika ada dumping.
Oleh karena itu, lanjut Saut, KKP saat ini, telah mengirimkan surat ke Kementerian Perdagangan agar tarif bea masuk bisa dikurangi, terutama produk-produk perikanan yang potensial, seperti udang, cakalang, tuna, rajungan, dan lainnya. Sebab, apabila tak dikurangi maka yang dirugikan adalah para nelayan.
“Eksportir pasti tidak mau rugi, oleh karena pasti harga dari tarif bea masuk yang dikenakan itu, dibebankan pada nelayan. Oleh karenanya, harus ada perubahan agar nelayan bisa dapatkan yang lebih baik,” katanya menambahkan.
Seperti diketahui, sebelumnya Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengusulkan agar Indonesia keluar dari G-20 karena ia menilai, Indonesia merugi di forum tersebut. Sebagian kalangan mendukungnya, dan sebagian lain tidak mendukungnya.
Sumber:http://jurnalmaritim.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar