Jumat, 07 November 2014

Kapitalisme, Daya Dukung Bumi, dan Krisis Global

17 03 2009 Krisis ekonomi global yang bermula dari skandal kredit macet sektor properti dan krisis keuangan di AS, sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda pulih. Sebaliknya, hampir semua negara di dunia kini kecipratan getahnya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi, meroketnya angka pengangguran dan kemiskinan. Indonesia sendiri mulai terimbas krisis ekonomi global sejak Oktober 2008, terutama melalui penurunan nilai ekspor, investasi, dan nilai tukar rupiah.
Sayangnya, terapi yang dilakukan oleh AS dan dunia pada umumnya sejauh ini baru menyentuh gejala dari krisis ekonomi, belum mengobati penyebab penyakit yang sebenarnya. Paket terapi itu mencakup bailout bagi korporasi yang bangkrut, stimulus fiskal dan moneter, regulasi sektor keuangan yang lebih ketat, dan penguatan pasar domestik. Sejatinya, paket terapi untuk mengobati resesi ekonomi global sekarang serupa dengan apa yang dilakukan dalam mengatasi the Great Depression 1930. Memang intervensi pemerintah model Keynes kala itu berhasil meredam Depresi Besar 1930. Namun, sejak 1960 masyarakat dunia tak pernah bisa tidur lelap akibat krisis ekonomi yang terus berulang, seperti yang terjadi pada 1970, 1980, 1990, 1998 – 2001 (Davies and Davies, 2002).
Akar masalah
Dengan demikian, krisis ekonomi global sejatinya berakar pada cacat bawaan dari sistem ekonomi kapitalis itu sendiri, bukan karena kesalahan implementasi semata. Dalam dekade terakhir, kesadaran global tentang kelemahan sistem ekonomi konvensional itu sebenarnya mulai tumbuh. Contohnya, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy berpendapat bahwa “capitalism based on financial speculation as an immoral system that has perverted the logic of capitalism. He argued that capitalism needs to find new moral values and to accept a stronger role for governments”.
Sedikitnya ada tiga kelemahan paradigmatik yang membuat ekonomi kapitalis (neoliberal) identik dengan krisis. Pertama adalah tujuan ekonomi kapitalis yang bukan sekedar memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga untuk memuaskan keinginan (nafsu) manusia berupa kebutuhan sekunder. Lain halnya dengan kebutuhan dasar, keinginan manusia yang tidak dilandasi dengan nilai-nilai spiritual, sifatnya menjadi tak terbatas. Sementara itu, kapasitas bumi dan teknologi dalam menyediakan sejumlah alat pemuas kebutuhan dan nafsu manusia berupa SDA (Sumber Daya Alam) beserta segenap produk turunannya berbeda di setiap negara dan ada batasnya. Di sinilah ekonomi kapitalis terkena batu sandungan pertama, karena memandang kelangkaan alat pemuas kebutuhan dan nafsu manusia sebagai masalah pokok ekonomi. Padahal, masalah sebenarnya terletak pada distribusi alat pemuas tersebut diantara umat manusia yang selama ini jauh dari keadilan. Kekayaan juga dianggapnya sebagai milik mutlak manusia, bukan titipan Allah pencipta dan pemilik mutlak alam semesta. Sehingga, dalam praktek keseharian, perilaku ekonomi kapitalis hanya mengejar keuntungan semaksimal mungkin, tanpa mengindahkan halal atau haram. Para kapitalis hanya mengutamakan kepentingan diri dan kelompok nya dengan mengalahkan yang lain, survival of the fittest.
Kedua, kehidupan kapitalisme modern digerakkan secara dominan oleh ekonomi berbasis sektor keuangan (sektor maya), bukan sektor riil. Keuntungan ekonomi diperoleh bukan dari aktivitas investasi dan usaha produktif dengan menghasilkan berbagai barang dan jasa, tetapi melalui investasi spekulatif di sektor finansial seperti valas, saham, obligasi, dan produk derivatives. Sejak bergeloranya globalisasi di awal 1990-an, sektor moneter melesat secara fenomenal meninggalkan sektor riil. Pada 2007, transaksi sektor maya mencapai 95% dari total perdagangan dunia. Sedangkan, transaksi di sektor riil berupa perdagangan barang dan jasa kurang dari 5%. Volume transaksi maya yang terjadi di pasar uang dunia mencapai US$ 1,5 triliun/hari, sementara perdagangan barang dan komoditas hanya sebesar US$ 6 triliun/tahun (IMF and World Bank, 2008). Fenomena decoupling (terputusnya dinamika sektor moneter dari sektor riil) itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi di pasar modal, valas, dan produk derivatives, sehingga mengakibatkan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, bagaikan balon, a bubble economy. Suatu ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, tetapi tak diimbangi oleh geliat produktivitas sektor riil. Dengan kata lain, sistem ekonomi kapitalis itu secara lahiriah tampak besar, tapi di dalamnya hanya berisi udara. Contohnya menjelang Krisis Moneter Asia 1998, dana yang beredar di transaksi maya sekitar US$ 700 triliun/tahun, sedangkan arus perdagangan barang dan komoditas dunia hanya US$ 7 triliun/tahun.
Keterputusan antara sektor moneter dan sektor riil itulah yang membuat ekonomi dunia selalu dihantui oleh krisis. Pasalnya, para pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk investasi di sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang dan transaksi maya lainnya guna meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ulah spekulatif ini setiap saat dapat mengguncang ekonomi negara, terutama negara yang fundamental ekonominya lemah atau kondisi politiknya labil. Spekulasi tersebut menyebabkan jumlah uang yang beredar jauh lebih besar ketimbang jumlah barang dan jasa yang diproduksi oleh sektor riil suatu negara, sehingga terjadilah inflasi. Oleh karena itu, globalisasi pasar keuangan hanya membuat para pemilik modal (pialang keuangan) semakin kaya, tanpa bekerja (Hahnel. 2000).
Dalam buaian ekonomi berbasis sektor maya inilah, kapitalisme tak mungkin lepas dari praktik bunga (riba). Padahal perbedaan tingkat suku bunga yang besar antar negara itulah yang membuat para pialang keuangan dengan seenaknya mengeruk keuntungan melalui investasi uang panas. Dan, aliran uang panas dari satu negara ke negara lain dalam jumlah yang luar biasa besarnya dan berlangsung sangat cepat, selama ini menjadi biang kerok terjadinya kepanikan finansial yang acap kali berujung pada krisis ekonomi. Lebih dari itu, pemberlakuan sistem bunga juga: (1) memaksa pertumbuhan ekonomi tinggi secara kontinu, kendati kondisi ekonomi riil telah mencapai titik jenuh; (2) mendorong persaingan antar pelaku ekonomi secara sengit dan tak sehat; dan (3) membuat kekayaan terkonsentrasi pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas (Meera, 2004). Bagi negara berkembang yang fundamental ekonominya belum begitu kuat, seperti Indonesia, praktik riba ini juga bisa menjerumuskannya ke jurang keterpurukan dan kemiskinan permanen di bawah hegemoni pihak asing.
Ketiga yang menjadi kerapuhan kapitalisme adalah ekonomi berbasis uang kertas (fiat money) yang memiliki kelemahan fundamental yakni selalu terkena inflasi permanen. Karena, nilai uang sekarang lebih rendah dibandingkan dengan nilainya pada waktu yang akan datang. Artinya, uang kertas mengalami depresiasi akibat inflasi permanen. Lebih dari itu, uang kertas juga jauh dari nilai keadilan, lantaran nilai intrinsiknya jauh lebih kecil ketimbang nilai nominalnya.
Krisis lingkungan
Falsafah kapitalisme yang menafikan eksistensi Tuhan dan kehidupan akhirat membuat gaya hidup dan perilaku ekonomi kapitalis sangat konsumtif dan hedonis. Untuk mendukung pola kehidupan semacam ini diperlukan produksi pangan, sandang, obat-obatan, bahan tambang, mineral, dan barang serta jasa lainnya dalam jumlah besar dan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Keseluruhan proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan nafsu manusia ini baik langsung maupun tidak langsung telah memacu laju pemanfaatan SDA dan kerusakan lingkungan. Seiiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan membaiknya standar kehidupan manusia, intensitas pengurasan SDA dan kerusakan lingkungan pun semakin meningkat.
Secara global, total laju pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan sebenarnya pertama kali melebihi daya dukung lingkungan bumi terjadi pada tahun 1980. Kemudian, pada tahun 1999 daya dukung bumi tersebut terlampui sebesar 20% (U.S. National Academy of Sciences, 2002). Wajar kalau dari tahun ke tahun kerusakan lingkungan dan SDA seperti penggundulan hutan, overfishing, krisis energi, krisis pangan, pencemaran, dan lainnya semakin dahsyat. Sistem atmosfir pun tidak mampu lagi menetralisir gas rumah kaca yang dihasilkan oleh segenap aktivitas manusia. Akibatnya, pemanasan global dengan sejumlah dampak negatipnya (anomali iklim, peningkatan suhu bumi, peningkatan permukaan laut, peledakan wabah penyakit, dan lainnya) telah mengancam keberlanjutan pembangunan ekonomi, dan bahkan kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri.
Selanjutnya, di negara yang daya dukung lingkungannya telah terlampaui, biaya hidup dan ongkos untuk memproduksi barang dan jasa menjadi lebih mahal. Pasalnya, untuk memenuhi keperluan tersebut, bahan baku (raw materials) nya harus diimpor dari negara lain. Di samping itu, limbah sebagai hasil samping aktivitas pembangunannya tak bisa lagi dibuang di dalam negeri, sehingga harus diekspor ke negara lain, yang membutuhkan biaya lumayan besar. Kondisi semacam inilah yang sejak akhir 1980-an tengah berlangsung di negara-negara industri maju. Contohnya, sejak dekade terakhir AS, Uni Eropa, dan Jepang harus mengimpor 60% sampai 75% total kebutuhan bahan baku untuk menggerakkan industri domestiknya. Akibatnya, guna mempertahankan gaya hidup yang konsumtif, hedonis, dan hegemonik, masyarakat kapitalis di negara-negara maju lebih mengembangkan sektor maya yang sarat spekulasi dan penipuan ketimbang sektor riil.
Solusi baru
Oleh sebab itu, kini saatnya kita mengembangkan sebuah sistem ekonomi baru berbasis sektor riil yang mampu menyediakan kebutuhan dasar dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di dunia secara adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Sektor riil yang dimaksud mencakup:(1) sektor primer (pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, pertambangan dan energi, dan pariwisata); (2) sektor sekunder (industri pengolahan, manufakturing, dan pengemasan); dan (3) sektor tersier (jasa transportasi, konstruksi, informasi dan komunikasi, pemasaran, keuangan, jasa boga, restoran, perhotelan, industri kreatif, jasa konsultan, dan lainnya). Sejak tahap perencanaan, implementasi, sampai monitoring dan evaluasi; ketiga sektor ekonomi itu mesti menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip-prinsip tersebut antara lain meliputi: penataan ruang wilayah untuk kawasan lindung dan pembangunan; proteksi kawasan lindung; konservasi biodiversity; pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari; penerapan teknologi produksi, pengolahan, dan manufakturing ramah lingkungan; pengembangan bioteknologi dan nannotechnology untuk peningkatan produksi pangan, minuman, farmasi, dan industri lainnya; pengembangan dan penggunaan energi terbarukan (seperi biofuel, energi surya, angin, panas bumi, energi arus pasang-surut, energi gelombang laut, dan Ocean Thermal Energy Conversion) untuk secara gradual mengganti energi fosil; pengendalian pencemaran lahan, perairan, dan udara (termasuk gas-gas rumah kaca penyebab global warming); dan modifikasi bentang alam (landscape) serta konstruksi prasarana dan sarana pembangunan harus sesuai dengan karakteristik dan dinamika alam.
Dengan kata lain, laju pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan mesti dirancang agar tidak melebihi daya dukung bumi dan kapasitas teknologi ramah lingkungan untuk menyediakannya. Untuk dapat memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan, setiap wilayah (negara) selain harus mengendalikan jumlah penduduk, juga mesti mengubah gaya hidup (life style) warganya yang selama ini konsumtif, rakus, dan serba materi menjadi lebih hemat SDA, senang berbagi kelebihan kepada sesama (care and share), dan meraih kebahagian melalui pencapaian materi (dunia) dan spiritual (akhirat) secara seimbang. Kalau ada negara yang sudah menerapkan kaidah ini, lalu masih tetap kekurangan SDA, komoditas, barang, dan jasa; maka disinilah letak peran sentral dari hubungan dan perdagangan antar negara (globalisasi). Jadi secara ekonomi, globalisasi mesti dimaknai sebagai upaya kolektif masyarakat dunia dalam mengembangkan perdagangan SDA, barang, komoditas dan jasa antar bangsa secara adil dan saling menguntungkan. Bukan transaksi pasar uang dan jenis transaksi maya lainnya, seperti yang terjadi selama ini.
Selanjutnya, jumlah uang yang dicetak oleh sektor moneter mesti seimbang dengan jumlah keseluruhan barang dan jasa yang dapat diproduksi oleh sektor riil suatu negara. Selain itu, sektor keuangan sesuai fungsi utamanya harus didorong untuk membiayai sektor riil, bukan sektor maya yang sarat manipulasi dan penipuan. Aset ekonomi produktif (modal, teknologi, infrastruktur, pasar, dan informasi) harus mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya rakyat kecil. Andai pun kita masih mentolerir pasar saham, maka perdagangan saham harus berdasarkan pada underlying transaction (sektor riil) dari perusahaan emiten tersebut. Sistem perbankan konvensional berbasis bunga seyogyanya secara gradual kita ganti dengan sistem berbasis cost and profit sharing, berbagi risiko dan keuntungan secara adil. Akhirnya, uang mestinya hanya boleh digunakan sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Mari kita tinggalkan sistem uang kertas, dan kembali ke mata uang emas dan perak, atau setidaknya uang kertas yang ditopang oleh logam mulia, seperti sistem Bretton Woods.
rokhmindahuri.wordpress.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar