Jumat, 07 November 2014

Prof. Dr. Etty R. Agoes, S.H., LL.M., Berharap Hukum Laut Jadi Mata Kuliah Wajib di Seluruh Fakultas Hukum

[Unpad.ac.id,30/05/2012] Pernah dengar lagu berlirik, “nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera?” Lagu klasik yang menjadi simbol negara Indonesia ini ternyata belum mampu menjaga dengan baik kawasan perairannya. Perhatian pada kawasan laut sangat kurang sehingga produk hukum yang membahas kawasan perairan pun sangat sedikit.
Bagi Prof. Dr. Etty R. Agoes, S.H., LL.M., guru besar kajian Hukum Laut Fakultas Hukum (FH) Unpad, di Indonesia sedikitnya memiliki 12 instansi terkait yang memiliki kewenangan penegakan hukum di laut. Namun, terkadang koordinasinya tidak jelas. Oleh karena itu, pemerintah pun mencoba membentuk Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang berfungsi untuk mengoordinasikan 12 instansi tersebut.
Upaya tersebut lagi-lagi terhambat karena Bakorkamla hanya bersifat mengoordinasikan saja, tetapi tidak memiliki kewenangan secara operasional, karena 12 instansi ini tidak bisa saling memerintah. Hal ini sudah sering menjadi bahan pembicaraan di seminar-seminar maupun grup diskusi.
“Harus ada satu lembaga yang jelas untuk kewenangan hukumnya, sehingga line of command-nya pun jelas,” tegas Prof. Etty.
Prof. Etty pun mengoreksi pernyataan publik mengenai jatuhnya pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia. Pernyataan yang sebenarnya ialah tidak ada pulau kita yang diklaim oleh negara lain. Pulau Sipadan dan Ligitan sebenarnya bukan milik Indonesia maupun Malaysia. Hanya, ketika pihak Indonesia dan Malaysia melakukan litigasi di Mahkamah Internasional, Inggris yang notabene pernah menjajah Malaysia mampu mengeluarkan bukti yang lebih kuat daripada Belanda sebagai negara penjajah Indonesia.  Inggris dianggap lebih peduli pada Sipadan Ligitan karena adanya penangkaran burung dan kura-kura saat masa penjajahan sehingga Malaysia dimenangkan oleh Mahkamah karena mewarisi bentuk kepedulian akan lingkungan hidup.
“Meminjam istilah Hassan Wirajuda (mantan Menteri Luar Negeri Indonesia), kita itu seperti menemukan dompet di tengah jalan, tidak ada indentitasnya dan berharap mudah-mudahan bisa menjadi milik pribadi,” ujar guru besar kelahiran Tasikmalaya, 12 September 1943.
Selain itu, diperlukan juga adanya kesadaran rakyat sendiri untuk menjaga teritori wilayah Indonesia, khususnya bagi penduduk yang tinggal di kawasan perbatasan. Terkadang, daerah-daerah di perbatasan seringkali tidak diperhatikan oleh Pemerintah Pusat. Harus ada upaya untuk mengalihkan sebagian dari rencana pembangunan nasional ke daerah kawasan perbatasan agar mereka tahu ada pemerintahan yang punya perhatian kepada mereka. Contoh yang baik dilakukan oleh TNI AL ketika melakukan latihan sambil membawa bahan makanan pokok ke pulau-pulau terpencil lalu dipertukarkan dengan hasil penduduk dari daerah tersebut sehingga mereka tahu bahwa ada kapal Indonesia.
Mempelajari Hukum Laut merupakan ketertarikan tersendiri bagi Prof. Etty. Berawal dari cita-cita sang ayah yang ingin menjadi notaris, Prof. Etty memilih menimba ilmu di FH Unpad pada tahun 1962 . Namun, ketertarikan Prof. Etty di FH bukan pada ilmu kenotariatan, melainkan lebih pada ilmu hukum.  Minat khususnya pada bidang hukum laut berawal ketika Prof. Etty akan menulis skripsi. Ada 2 opsi yang dipilih olehnya, yakni Hukum Pidana dan Hukum Internasional. Namun, hukum pidana dirasanya tidak memiliki tantang yang signifikan.
“Kebetulan saya dianjurkan oleh Prof. Sudiman Kartohadiprojo (alm.), untuk belajar kepada Prof. Mochtar Koesoemaatmadja yang pada waktu itu baru pulang dari Amerika. Saya pun mencoba memulai kembali kuliah pada Prof. Mochtar. Saya pun tertarik dengan Hukum Internasional khususnya Hukum Laut, sebabnya belum banyak dikenal pada waktu itu,dan manfaatnya buat indonesia besar sekali. Skripsi saya tentang garis batas antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura, hingga akhirnya saya ditarik oleh Prof. Mochtar menjadi asisten dosennya pada tahun 1974. Itulah jalan nasib saya,” ujar Prof. Etty.
Satu tahun menjelang masa purnabaktinya, Prof. Etty sangat mengharapkan hukum laut menjadi mata kuliah wajib di seluruh Fakultas Hukum. Sebab, hukum laut mengatur masalah-masalah diluar hukum pidana. Selain itu, untuk bisa menjadi seorang ahli di bidang hukum laut diperlukan cakrawala keilmuan yang luas. Mempelajari hukum laut tidak hanya cukup mengetahui ilmu hukum saja, karena  laut itu sendiri memiliki banyak sumber daya alam dan segi geologi, sehingga mau tidak mau harus tahu pula sedikitnya mengenai ilmu biologi, perikanan, geologi, atau geodesi yang mempelajari tentang kawasan perairan.
Guru besar yang juga pernah menjadi penasehat di Kemlu, staf ahli Mentri Kelautan dan Perikanan, dan anggota Dewan Kelautan ini juga terus berupaya untuk memperkenalkan hukum laut kepada para mahasiswa, khususnya di Unpad. Terbukti, banyak mahasiswa FH Unpad yang tertarik untuk melakukan kajian mengenai hukum laut.
“Insya Allah, selama masih ada di sini akan terus dipupuk. Namun, sekali lagi untuk mempelajari hukum laut mau tidak mau harus mempunyai cakrawala yang luas,” tutupnya.*
Laporan oleh: Arief Maulana |
http://news.unpad.ac.id 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar