Rabu, 26 November 2014

Merawat Optimisme Kemaritiman

Sebagai sebuah bangsa dengan sejarah kemaritiman yang gemilang, prestasi keteladanan diplomasi kelautan yang handal, serta kemelimpahan kekayaan alam darat-laut-udara di masa kini, menjadi poros maritim sepantasnya bukanlah mimpi di “siang-bolong.” Saya percaya inilah takdir Indonesia yang hendak kita jemput.
Pertanyaannya, bagaimana optimisme tadi kita rawat agar bertahan di sepanjang pemerintahan atau bahkan setelah Pemerintahan Pak Jokowi kelak?
Berawal dari kampung
Puncak dari pembangunan republik ini adalah kebahagian rakyat dan umat manusia. Rakyat dalam makna mereka paling rentan; sehingga mendapatkan kehidupan lebih layak dan terpenuhi kebutuhan mendasarnya. Umat manusia sebagai pengejewantahan peran internasionalisme untuk mewujudkan dunia lebih adil, damai, dan tumbuh berkualitas. Karenanya, guna menjaga optimisme rakyat mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia membutuhkan pembenahan yang berawal dari kampung.
Studi yang pernah saya lakukan pada 2004 di 17 Kabupaten/ kota pesisir se-Jawa Tengah menemukan tidak kurang dari 8835,41 m3 per hari volume sampah bertumpuk di kawasan pesisir. Meski ada usaha pemerintah mengangkut sampah tersebut, hanya sekitar 67,5 persen yang terangkut dan berhasil dibawa ke pembuangan untuk selanjutnya di daur. Sedang lebih 30 persen sisanya di biarkan terakumulasi di kantung-kantung pesisir. Persoalannya pun berlanjut pada pemiskinan.
Maraknya mafia perikanan hingga dibiarkannya ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria kelautan telah mempersempit peran “sebesar-besar” rakyat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Maka, nelayan dan masyarakat pesisir pun dimiskinkan (bukan miskin).
Kedua temuan di atas sekiranya cukup menggambarkan bahwa kondisi miskin dan kumuh di kampung nelayan bukanlah pesoalan berdiri sendiri dan melekat pada karakter asli nelayan Indonesia. Justru, absennya instrumen negara mulai dari penyelenggaraan pendidikan, penegakan hukum, hingga kegiatan-kegiatan teknis (teknologi) peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha perikanan dan kelautan telah mengantarkan keluarga nelayan dalam situasi serba minimalis.
Peluang
Direktur Jenderal Organisasi Pangan Dunia (FAO) José Graziano da Silva, saat membuka Sidang ke-31 Komite Perikanan Dunia di Kantor Pusat FAO, Roma Italia (10/6/2014) mengatakan, “paradoks terjadi selama ini. Agenda pengelolaan belum berdampak ke nelayan kecil. Padahal, nelayan kecil juga bagian dari usaha mengatasi masalah kelaparan dan kemiskinan.”
Bagi nelayan kepulauan sebesar Indonesia, kesejahteraan nelayan tidak saja kunci mengatasi kelaparan (suplai pangan protein), juga memastikan keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan, penyediaan lapangan pekerjaan, keberlanjutan budaya luhur kebaharian bangsa, termasuk memperkuat kedaulatan Indonesia di laut.
Secara lebih operasional 4 prioritas pemerintah lima tahun ke depan, masing-masing: Pertama, memperkuat kelembagaan kelautan. Perlu diketahui, selain melahirkan lembaga negara yang cemerlang seperti KPK, reformasi juga melahirkan Departemen Eksplorasi Laut (Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini) dan Dewan Maritim Indonesia yang selanjutnya berganti nama menjadi Dewan Kelautan Indonesia.
Ada 3 kesadaran mutlak saat itu, mengembalikan dan melindungi hak-hak masyarakat paling rentan (vulnerable societies) seperti nelayan yang sudah lama dirampas hak-haknya; meningkatkan peran negara untuk optimalisasi kekayaan sumber daya laut bagi kesejahteraan rakyat, serta; memperkuat adab kelautan kita.
Kedua, menggeser armada kapal ikan berbobot besar (>30GT) ke perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Selain guna mengotimalkan pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI, strategi ini dapat mendukung restorasi ekosistem pesisir, meningkatkan ekonomi nelayan kecil, sekaligus mempersempit masuknya kapal-kapal asing pencuri ikan.
Ketiga, memudahkan akses informasi dan teknologi ke perkampungan nelayan. Utamanya terkait langsung informasi cuaca, lokasi-lokasi penangkapan ikan, posisi nelayan di laut, serta 18 harga ikan konsumsi. Mengapa informasi harga ikan penting? Tidak adanya harga acuan ikan telah menyebabkan nelayan menjadi objek eksploitasi dari rantai dagang perikanan.
Terkahir, pemerintahan ke depan juga berkewajiban untuk mendukung tumbuh-kembangnya organisasi-organisasi nelayan yang kuat: terdidik dan mandiri. Karena kekuatan inilah kelak yang akan menyelamatkan Indonesia dari dampak buruk globalisasi maupun perdagangan bebas.
Jika optimisme kemaritiman di kampung-kampung nelayan ini dirawat, Insya Allah Pak Jokowi telah meletakkan pondasi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar