Minggu, 23 November 2014

Mengelola Poros Maritim Dunia



Setelah lama dipunggungi, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berniat menjadikan sektor kelautan menjadi halaman depan Indonesia yang digembar-gemborkan sebagai poros maritim dunia. Wujud perhatian terhadap laut sebagai arus utama pembangunan ekonomi sejatinya meliputi dua fungsi. Pertama, fungsi produksi yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Kedua, laut sebagai penawar jasa yang meliputi pelabuhan, perkapalan, galangan, dan pengawasan laut.

Fungsi kedua sudah banyak didiskusikan para pakar kemaritiman di berbagai media massa. Hanya saja, fungsi laut sebagai unit produksi ini sedikit luput dari perhatian. Padahal fungsi produksi ini dinilai sangat penting karena berkaitan erat dengan persoalan bagaimana kita dapat mencukupi kebutuhan pangan masyarakat baik secara nasional maupun internasional.
Tak dapat dipungkiri, sumberdaya ikan sebagai komoditas ekonomi di Indonesia sebagian besar tergolong kedalam komoditas ekspor, sehingga hasil-hasil produksi yang didapat dari sumberdaya ikan dengan grade A seperti tuna, udang, sidat, layur dan sebagainya cenderung di ekspor ke negara-negara maju ketimbang untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Tingginya Permintaan
Thomas Malthus (1798) dalam esainya tentang Prinsip Kependudukan menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk, bila tidak dikendalikan, akan naik menurut deret ukur (1,2,4,8 dan seterusnya), padahal produksi pangan meningkat hanya menurut deret hitung (1,2,3,4 dan seterusnya)[1].
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Food Agricultural Organization (FAO), merilis jumlah permintaan ikan dunia pada tahun 2006 mencapai 114,3 juta ton, tahun 2008 sebesar 119,7 juta ton dan tahun 2011 mencapai 130,8 juta ton. Artinya antara tahun 2006 sampai dengan tahun 2011, permintaan dunia terhadap ikan meningkat hingga 16,5 juta ton. Permintaan terhadap protein ikani ini diprediksi Bloomberg Philanthropies akan terus tumbuh hingga pada tahun 2030 mencapai 154 juta ton.
Permintaan ikan yang meningkat tentunya memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memilki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk pengembangan perikanan baik penangkapan maupun akuakultur.
Namun demikian, tuntutan pemenuhan kebutuhan sumberdaya tersebut akan diikuti oleh tekanan eksploitasi sumberdaya ikan yang semakin intensif. Jika tidak dikelola secara bijaksana, sangat dikhawatirkan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara intensif akan mendorong usaha perikanan ke jurang kehancuran dan terjadinya berbagai konflik sumberdaya ikan.
Berbagai hasil kajian yang berkembang belakangan ini, terutama di berbagai lokasi perikanan utama dunia, menunjukkan bahwa upaya pengelolaan semakin dirasakan meningkat kebutuhannya. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus meningkat (intensif), dengan sedikit upaya pengelolaan, telah menyebabkan terjadinya kehilangan yang cukup besar keanekaragaman sumberdaya ikan dan habitatnya (Dulvy dkk. 2003)[2].

Ancaman Krisis dan Pentingnya Pengelolaan
Ditengah permintaan ikan dunia yang terus meningkat seperti pada uraian diatas, produksi perikanan dunia justru mengalami kemunduran. Data FAO tahun 2006-2011 menunjukkan bahwa jumlah produksi ikan dunia turun sebanyak 1,3 juta ton, dari 80,2 juta ton pada tahun 2006 menjadi 78,9 juta ton pada tahun 2011. Keadaan seperti ini tidak hanya meninggalkan berbagai permasalahan akut akan kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial perikanan terutama di wilayah-wilayah utama perikanan di  daerah pantai[3].
Di sisi lain, manusia yang secara langsung menggantungkan sumber mata pencahariannya pada sumberdaya ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia, berdasarkan statistik perikanan tangkap tahun 2013 diketahui bahwa rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada perikanan laut berjumlah 627.900 dengan jumlah nelayan 2,4 juta orang.
Kini, ditengah cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia, ciri dasar dari sumberdaya perikanan dunia menunjukkan gejala yang terus menerus ke arah penipisan berbagai stok ikan yang disertai dengan tingginya tingkat modal dan tenaga kerja yang ditanamkan untuk kegiatan penangkapan. Kondisi ini juga diikuti oleh hasil tangkapan yang rendah serta sedikitnya pendapatan yang diterima oleh nelayan.
Meski disinyalir masih sangat potensial, diperlukan perencanaan yang matang dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan di perairan Indonesia terlebih di wilayah perairan yang sudah dalam kondisi lebih tangkap (over fishing). Prinsip kelestarian sumberdaya wajib diperhatikan dalam pengelolaan perikanan sehingga baik pelaku usaha maupun negara dapat memperoleh keuntungan dan devisa yang besar dan berkelanjutan. Sebagai sumberdaya yang kepemilikannya dikenal sebagai sumberdaya milik bersama (common properties) dan bersifat terbuka (open acces), kekurang hati-hatian dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan akan mendorong perikanan Indonesia pada apa yang dikhawatirkan oleh Hardin (1968) sebagai “the tragedy of the commons“.

Andhika Rakhmanda: Pegiat Forum Kajian Perikanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
[1] Lihat Malhtus, T. 1798. An Essay on the Principle of Population. Printed for J. Jhonson, in St. Paul’s Church-Yard. London.
[2] Dulvy, N.K., Y. Sadovi, and J.D. Reynolds. 2003. Extinction Vulnerability in Marine Population. Fihs and Fisheries (4): 25-64.
[3] Lihat  Pitcher, A. 1996. Reinventing Fihseries Management. NAGA The ICLARM Quartely (7): 15-17 dan  Cochrane, K.L. 2000. Reconciling Sustainability, Economic Efficiency and Equity in Fisheries: The One that Got Away?. Fihs and Fisheries (1): 3-21.

Sumber: http://laut.co.id 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar