Jumat, 07 November 2014

Nani Sulityani: Ahli Hukum Laut Masih Minim

2010-09-06 04:51:45 WIB
Politikindonesia - Minimnya ahli hukum bidang kelautan salah satu penyebab ketidakberdayaan Indonesia mengatasi konflik di tapal batas. Seperti yang terjadi antara Indonesia-Malaysia belakangan. Persoalannya pun menjadi berlarut-larut. Padahal banyak potensi kelautan yang seharusnya sudah bisa dioptimalkan.

Pandangan itu mengemuka dari Nani Sulistyani Herawati, anggota Komisi IV DPR yang membidangi sektor  pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.

Untuk mengatasi hal itu, politisi perempuan Partai Demokrat memandang perlunya sinergitas antara Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sebagai kementerian yang paling berkepentingan untuk memikirkan pengadaan tenaga ahli tersebut.

Perempuan kelahiran Jakarta, 17 Agustus 1955 itu begitu gundah dengan kondisi yang ada. Betapa tidak, Indonesia itu negara maritim yang wilayah lautnya cukup luas. Sudah seharusnya orientasi pembangunan diarahkan ke sana. Faktanya, kita masih berkutat di persoalan tapal batas. Gara-gara kurangnya tenaga ahli tersebut. Padahal potensi kelautan kita sudah sangat mendesak untuk digali.

Lantas apa saja yang bisa dikembangkan agar potensi kelautan Indonesia berdaya guna dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Doktor Teknologi Kelautan, lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengungkapkan gagasannya kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com dalam sebuah wawancara di Gedung Parlemen Kamis (02/09). Berikut petikannya.

Menurut anda, Indonesia masih kekurangan tenaga ahli hukum kelautan. Dapat anda jelaskan ?

Memang nyatanya demikian. Kita ini masih kekurangan ahli hukum laut. Di Indonesia, ahli hukum laut masih dapat dihitung dengan jari seperti Chandra Motik, Mochtar Kusumaatmadja, Sarwono Kusumaatmadja, dan sebagainya.

Masih harus diperbanyak, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan sejak dulu sudah dikenal sebagai negara maritim. Nah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus memperbanyak ahli hukum kelautan sehingga ketika terjadi permasalahan di laut, dapat segera dilesaikan.

Bagaimana mengatasi kesenjangan akan kurangnya tenaga hukum laut?

Banyak sebenarnya tetapi selama ini tidak terangkat. Karena itu kita perlu mengakomodir dengan memberikan dorongan agar KKP membuka seluas-luasnya kesempatan itu bagi putera-putera terbaik bangsa. Termasuk peneliti kelautan yang sekarang justru banyak bekerja di luar negeri. Karena tidak terakomodir tadi.

Bagaimana dengan batas wilayah Indonesia-Malaysia yang masih berbeda?

Tiap negara mempunyai Undang-Undang (UU) tersendiri. Kita tidak dapat mengintervensi UU negara lain. Merekapun tidak dapat mengintervensi UU kita. Karena itulah hukum laut internasional diadakan.

Terkait persoalan dengan Malaysia, kalau Polis Diraja Malaysia telah menangkap dan memborgol petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kepri, mestinya kita juga harus berani menangkap dan memborgol nelayan Malaysia yang telah memasuki wilayah perairan Indonesia. Setelah itu baru melakukan diplomasi politik.

Apakah itu berarti ada barter?

Kita tidak berbicara barter. Menteri Kelautan dan Perikanan telah menegaskan hal itu. Pertanyaannya, kenapa nelayan Malaysia yang diduga telah melakukan pencurian ikan di wilayah Indonesia itu dilepas?

Menurut Kapolda Kepri pelepasan nelayan Malaysia itu dilakukan karena tidak cukup bukti. Keputusan itu kemudian menimbulkan kontroversi. Ada yang menilai telah terjadi barter dan sebagainya.

Inilah yang saya prihatinkan. Coba saat insiden tersebut terjadi KKP telah memiliki ahli hukum internasional, maka saya jamin masalahnya tidak akan meluas, seperti sekarang ini.

Dalam insiden Tanjung Berakit, petugas kita  tak dilengkapi peralatan memadai sehingga posisi tawarnya rendah. Komentar anda?

Tugas aparat DKP itu memang berat. Bahkan di Batam, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan juga harus mengawasi masalah kehutanan. KKP tidak bisa mencampuri hal itu karena menjadi otoritas kepala daerah setempat.

Namun demikian, KKP harus siap mendampingi dengan menurunkan tenaga ahlinya ketika terjadi permasalahan di daerah.

Maklum, pengetahuan mereka tentang kapal dan perlengkapannya kan juga terbatas. Karena itu menurut saya, KKP harus membuat standar operasinya agar bisa menjadi acuan di daerah.

Lalu anggaran kementerian maupun dana-dana APBD harus didorong untuk membeli perlengkapan yang memadai. Ingat, kondisi dan tantangan di masing-masing wilayah, tidak sama.

Bagaimana jika anggarannya sendiri masih terbatas?

Makanya tadi saya usulkan agar KKP membuat skala prioritas anggaran. Dari dana yang ada, mana yang harus diprioritaskan. Anggaran untuk 2011 baru diajukan dan dibahas di dewan.

Berapa anggaran yang dibutuhkan itu?

Saya sih maunya sebesar mungkin, karena insiden itu kan terjadi di dapil saya yang kebetulan juga merupakan wilayah perbatasan.

Ini penting. Karena permasalahan di wilayah perbatasan itu bisa menjadi begitu kompleks karena menyangkut kepentingan dua negara atau lebih.

Agar persoalan tersebut tidak terulang, maka selain mempersiapkan ahli hukum internasional yang akan memperkuat kinerja KKP. Juga orientasi pembangunan di perbatasan, harus diperkuat.

Dengan demikian, maka akar permasalahannya dapat diselesaikan, pembangunannya jalan dan masyarakat kita dapat lebih fokus untuk meningkatkan kesejahteraannya. Jika terus diganggu dengan permasalahan, lalu kapan mereka akan sejahtera?

Tapi kan orientasi pembangunan kita masih bertumpu ke darat?

Memang pembangunan di sektor kelautan itu interdep. Dalam membangun sektor itu memang dibutuhkan kerjasama antarkementerian.

Misalnya untuk membangun perumahan nelayan, perlu menjalin kerjasama dengan Kementerian Perumahan. Juga dengan Kementerian Pendidikan Nasional serta Menko Kesra.

Tapi memang mental nelayannya yang masih berada di garis kemiskinan itu juga perlu diberdayakan, karena rata-rata tingkat pendidikannya masih rendah.

Padahal pemerintah sudah membantu melalui dana BOS. Karena itu sektor pendidikan ini perlu terus disosialisasikan.

Di Kepri itu ada target 1.000 anak nelayan untuk bersekolah gratis. Khususnya terkait pengetahuan budi daya ikan. Mereka disekolahkan di Balai Budi Daya Laut di Barelang.

Jadi anda setuju dengan konsep Mina Politan yang dikembangkan KKP?

Setuju asal terpadu. Sehingga masyarakat di pulau-pulau kecil itu juga sejahtera. Kalau daerah pesisirnya maju, maka masyarakat di darat akan berbondong-bondong ke sana.

Konsepnya sendiri memang bagus. Karena itu kami mendorong untuk dilaksanakan. Pelaksanaannya juga tidak hanya ditangani KKP tetapi juga melibatkan kementerian lain. Tidak kalah pentingnya membangun pulau-pulau kecil yang belum terbentuk karena masyarakat masih sangat sedikit.

Berarti untuk merealisasikannya perlu dana besar?

Ya pasti. Peningkatan anggaran di KKP memang perlu ditingkatkan. Tetapi selain menambah anggaran itu harus dibarengi upaya untuk menekan illegal fishing. Karena disamping kekayaan laut kita terkuras juga pemasukan dari sektor pajak menjadi berkurang.

Artinya dengan menekan illegal fishing maka hasil kelautan dan perikanan bisa lebih banyak masuk ke APBD dan APBN. Dari situlah kemudian dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme aparatnya. Juga kelengkapan dalam melakukan operasinya.

Banyak industri kelautan di daerah yang colaps. Bagaimana mengatasinya?

Iya saya memang sedih sekali. Industri kelautan di Kepri maupun di Batam sebagai daerah industri, masih kalah dibandingkan industri pengalengan ikan sarden di Banyuwangi.

Di Banyuwangi itu, suplay and deman seimbang. Mereka berhasil mengembangkan industri berbasis kewilayahan. Persis seperti yang tergambar dalam program Mina Politan itu.

Kalau di Kepri, biota lautnya ikan bawal putih, maka industrinya ya harus bawal putih. Berbeda dengan NTB yang kaya akan biota rumput lautnya.

Jadi kalau pengadaan industri itu berbasis kewilayahan maka semestinya tidak perlu colaps. Bahkan dapat meningkatkan pendapatan daerah serta dapat menyerap tenaga kerja. Seperti di Banyuwangi itu.

Indonesia itu kaya akan jenis ikan. Karena itu prospek industri perikanan cukup cerah. Setiap daerah potensinya tidak sama, Ada ikan tuna, cakalang, patin. Sedang di wilayah yang produksinya ikan segar, harus diperbanyak cool storage.

Negara mana yang telah mengembangkan konsep industrialisasi semacam itu?

Malaysia. Saya kenal seorang profesor di salah satu universitas di Malaysia yang berhasil meniliti dan mengembangkan teripang atau ketimun laut.

Dari hasil penemuannya itu, kemudian dikembangkan dalam industri kosmetika, krim, kopi. Vitamin dan sebagainya.

Awalnya hanya industri kecil tapi kemudian menjadi industri yang sangat besar. Bahkan sekarang menjadi multi level marketing dan sudah masuk ke indonesia.

Padahal Indonesia sendiri kaya sekali akan teripang, khususnya di perairan di perbatasan NTT – Maluku Utara dengan Australia.

Kita ini negara maritim di mana wilayah terluasnya lautan. Tetapi kita tidak mampu mengoptimalkan hal itu? Ironisnya, tak sedikit nelayan kita yang miskin.
http://www.politikindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar