Jumat, 21 November 2014

Sarwono: Saatnya Revolusi Mental Jajaran Birokrasi Maritim

PENILAIAN - Pakar kelautan Indonesia, Sarwono Kusumaatmadja. Sarwono mengatakan, ada beberapa PR pemerintah yang harus segera diselesaikan. (Foto: KKP)
PENILAIAN – Pakar kelautan Indonesia, Sarwono Kusumaatmadja. Sarwono mengatakan, ada beberapa PR pemerintah yang harus segera diselesaikan. (Foto: KKP)

Jakarta, JMOL ** Pakar kelautan Indonesia, Sarwono Kusumaatmadja, mengungkapkan, gebrakan yang dilakukan sejumlah menteri di bawah Menko Maritim sudah cukup bagus. Pasalnya, selama ini, sektor kelautan, baik di bidang penangkapan ikan maupun pariwisata belum berjalan optimal.
“Gebrakan yang dilakukan Menko Maritim sudah cukup lumayan, seperti di bidang pariwisata yang akan menyerderhanakan perizinan kapal pesiar (cruise) dan kapal layar (yacht). Di sektor industri maritim akan memberikan insentif fiskal dan non-fiskal. Terakhir, untuk kegiatan pemberantasan illegal fishing juga sudah cukup bagus,” tutur Sarwono, Selasa (19/11/2014).
Kendati demikian, lanjut Sarwono, untuk menjadi negara Poros Maritim Dunia atau menuju good maritime governance, banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan presiden beserta kabinet maritimnya. Untuk membereskannya, hal pertama yang harus dilakukan adalah segera merevolusi mental masyarakat, khususnya jajaran yang terkait maritim.
“Selama ini, ada yang salah dengan sistem birokrasi kita. Sayangnya, walaupun mereka sadar bahwa itu salah, namun mereka terlalu malas untuk mengubahnya. Istilahnya, seperti berada dalam sumur yang lembap dan gelap, tetapi mereka malas untuk naik ke atas,” ujar Sarwono.
Meski begitu, Sarwono optimis, Presiden Jokowi beserta jajaran dapat mengubahnya, terkhusus di empat bidang, yakni perhubungan laut, penangkapan ikan, industri maritim, dan wisata bahari.
Untuk perhubungan laut, menurut Sarwono, pemerintah harus segera melakukan audit, terkait aturan yang dikeluarkan International Maritime Organization (IMO), baik yang sudah diratifikasi atau belum. Karena, walaupun pemerintah telah meratifikasi, pelaksanaannya masih jadi pertanyaan. Hal tersebut penting, karena menyangkut keselamatan pelayaran.
“Berbeda dengan kecelakaan di darat, kecelakaan kapal di laut masih belum ada kejelasan dalam penanganannya. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhirnya kasus tersebut,” ujarnya.
Sarwono menjelaskan, Mahkamah Pelayaran yang selama ini berada di bawah Perhubungan Laut (Hubla) harus dipisahkan dan digabung ke Mahkamah Agung, kecuali jika untuk memeriksa perizinan kapal atau nakhoda.
“Satu lagi, untuk perhubungan laut, yakni menyangkut pelabuhan, menjadi PR perhubungan laut, bagaimana menyelesaikan administrasi laut tersebut selesai dengan cepat, sehingga dapat mengefisiensi biaya dan waktu,” katanya.
Kesejahteraan Nelayan
Pada perbaikan sektor penangkapan ikan, ungkap Sarwono, harus ada penuntasan masalah illegal fishing, serta perbaikan supply chain perikanan, baik itu dengan memperbanyak cold storage atau dalam memaksimalkan potensi yang ada. Hal yang tidak kalah pentingnya, memperbaiki kesejahteraan nelayan.
“Saya setuju jika BBM nelayan dicabut agar mafia BBM tidak lagi diuntungkan, tetapi dengan syarat pemerintah harus memberikan kompensasi, baik itu berupa asuransi kesehatan bagi nelayan, perbaikan rumah nelayan, asuransi jiwa, dan segala kebutuhan nelayan bisa diakomodasi,” tuturnya.
Sarwono menilai saat ini, industri maritim memang cukup bagus dengan insentif fiskal, hanya saja baru untuk Batam. Sekarang, bagaimana caranya agar insentif tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia.
Sementara untuk masalah dana, kata Sarwono, menjadi PR pemerintah untuk mengadakan SDM analis keuangan di sektor maritim. Selama ini bank di Indonesia tidak memiliki analis kemaritiman, sehingga mereka tidak memahami potensi bidang kemaritiman.
“Selama ini, bank hanya berani memberikan pinjaman kepada para nasabah yang sudah dipercaya, seperti nasabah mereka yang sebelumnya sudah meminjam modal untuk membangun properti atau lainnya, bukan atas sudut pandang karena bank tahu potensi industri maritim,” katanya.
Pada bidang wisata bahari, sambung Sarwono, Menko Maritim sudah cukup bagus dengan program penyederhanaan izin. Namun, lebih bagus lagi jika menghapuskan uang jaminan kapal layar atau pesiar jika hendak masuk perairan Indonesia. Dengan begitu, para wisatawan tidak malas masuk Indonesia.
“Terkadang uang jaminan tersebut lama dikembalikan. Mereka membiarkan uang tersebut berbunga. Padahal, dihitung, potensi uang dari bunga tersebut tidak seberapa,” ujarnya.
Sarwono menganjurkan untuk membangun marina atau pelabuhan khusus kapal layar atau pesiar. Sebagai Negara Maritim, Indonesia hanya memiliki satu marina di Kepulauan Riau.
Mengubah Istilah MEF
Selain empat sektor di bawah Menko maritim tersebut, PR sektor maritim lain adalah pertahanan. Untuk pertahanan ini, terang Sarwono, Indonesia harus menunjukkan kepada dunia, kuat dalam segi pertahanan diri. Namun, dengan memamerkan kekuatan ini, tunjukkan pula bahwa Indonesia tidak bermaksud mengekspansi atau merongrong negara lain.
“Istilah Minimum Essential Force (MEF) itu harus diubah. Kesannya kita lemah dalam segi pertahanan, karena targetnya kita masih di level minimum. Jadi, kita harus mengubahnya. Pokoknya, kita harus tunjukkan bahwa kita Negara Kepulauan yang kuat,” ucap Sarwono.
Ia menambahkan, pembentukan Dewan Bahari cukup penting. Sebab, Menko Maritim tidak bisa mengkover sektor maritim secara keseluruhan, yakni hanya membawa empat kementerian, sementara yang terkait dengan maritim ada 13 kementerian. Oleh karena itu, penting untuk membentuk Dewan Bahari yang langsung di bawah presiden.
“Menko Maritim bisa menjadi Ketua Hariannya, namun Ketua Umumnya tetap Presiden. Presiden bisa menggelar rapat tiga bulan sekali, tidak perlu terlalu sering. Terpenting, rapatnya berbeda dengan rapat kabinet,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar