Sabtu, 08 November 2014

Membangun Mentalitas Bahari






MELELANG IKAN--Aktivitas lelang ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Banda Aceh,  Minggu (5/1).  TPI Lampulo merupakan pusat perikanan terbesar di Provinsi Aceh, yang sempat mengalami kehancuran total akibat empasan tsunami Desember 2004 silam.  Kini  pelabuhan sekaligus tempat pelelangan ikan itu mencoba bangkit perlahan. (MOHAMAD BURHANUDIN/Transformasi)
MELELANG IKAN--Aktivitas lelang ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Banda Aceh, Minggu (5/1). TPI Lampulo merupakan pusat perikanan terbesar di Provinsi Aceh, yang sempat mengalami kehancuran total akibat empasan tsunami Desember 2004 silam. Kini pelabuhan sekaligus tempat pelelangan ikan itu mencoba bangkit perlahan. (MOHAMAD BURHANUDIN/Transformasi)
Mereka tidak tahu bahwa negeri Kami…terhampar sepandjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri-negeri Eropa sedjak dari Pantai Barat benuanja sampai ke perbatasan paling udjung di sebelah timur…Mereka umumnja tidak menjadari bahwa kami terletak antara dua benua, Benua Asia dan Australia, dan dua buah samudera raksasa, Lautan Teduh dan Samudera Indonesia…
Begitulah penggalan paragraf yang diucapkan Bung Karno, dalam buku Penyambung Lidah Rakyat. Ada nada bangga dalam untaian kalimat Putra Sang Fajar tersebut dalam menggambarkan betapa besar negeri pulau-pulau tersambung lautan luas ini. Hingga kini, bahkan, penggambaran heroik tentang unik dan luasnya bentang negeri bahari ini seakan tetap melekat di benak nyaris setiap warga di Nusantara.
Tapi begitulah. Hingga 69 tahun usia kemerdekaan, hanya kisah-kisah ironi yang tercipta dari bentang bahari ini. Kesadaran sebagai negeri kepulauan yang kaya dengan lautan, baru sekadar menyulam jargon heroisme, bukan jatidiri  untuk membangun negeri yang sejahtera, makmur, dan berdaulat.
Menguasai 2,8 juta kilometer persegi laut yang kaya, tapi kini Indonesia justru jadi bangsa pengimpor ikan yang rajin, bahkan ikan teri dan asin sekalipun. Sedihnya, sebagian besar ikan-ikan itu berasal dari laut Indonesia, yang dicuri kapal-kapal asing.
Negara bukan tak menyadari akan hal tersebut. Berganti rezim, tema maritim selalu hadir dalam rencana pembangunan. Namun, alih-alih terbangun sebuah poros maritim yang kuat, pembangunan kemaritiman kita pun selama bertahun-tahun seakan senantiasa berakhir sama, sekadar menjadi endapan wacana. Sektor bahari, yang di dalamnya adalah maritim dan kelautan pun tak pernah dihadirkan sebagai arus utama pembangunan.
Perwira naval asal Amerika, Alfred Thayer Mahan (1840-1941), merumuskan betapa pentingnya penguasaan atas kemaritiman bagi suatu bangsa dengan istilah sea power.  Karya Mahan kemudian menjadi rujukan bagi penguasaan teritorial laut, yang berbasis pada kekuatan maritim di banyak negara maju. Mahan menyimpulkan, untuk menguasai dunia, harus menguasai perdagangan dunia, Perdagangan dunia selalu melalui laut. Singkatnya, siapa yang menguasai laut, mereka yang akan mengontrol dunia (Mahan, 1879).
Sir Harold J Mackinder, ahli geopolitik Inggris menyempurnakan pandangan Mahan tersebut dengan menambahkan variabel penguasaan pivot atau poros dari ruang kelautan yang dikuasai. Menciptakan poros maritim akan memungkinkan bagi suatu negara untuk memperluas saling ketergantungan dalam jejaring perdagangan internasional.
Pandangan Mahan dan Mackinder juga menegaskan, bahwa kekuasaan maritim akan terbangun jika ada pemahaman dan penguasaan yang baik atas kekuatan kelautan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik dan sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu, seperti industri maritim dan pelabuhan.
Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya. Dua hal yang merupakan bagian dari apa yang kita kenal dengan sebutan bahari.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski menyebut dan memersepsi diri sebagai tanah air, ironisnya bangsa ini memosisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris. Swasembada pangan hanya dimaknai sebagai swasembada beras. Pembangun infrastruktur ekonomi diartikan sebagai pembangunan jalan raya dan infrastruktur darat lainnya. Kemampuan dan pengalaman melaut kita hanya berbasis cerita rakyat, romantisme, dan mitologi masa lalu, bukan dinyatakan lewat catatan keilmuan dan pengembangan teknologi.
Harapan baru
Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia, 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo kembali menegaskan tentang pembangunan sektor maritim. Sesuatu yang seolah terlupa karena terlalu lamanya kita memunggungi lautan. Hal ini tentu menjadi harapan baru bagi cita-cita menempatkan bahari negeri ini sebagai jatidiri bangsa yang nyata.
Namun sekali lagi, pembangunan maritim bukan rencana baru. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu hal tersebut selalu menjadi bagian dari rencana pembangunan pemerintah. Namun, kemajuan sektor ini tetap jauh dari harapan.
Kenyataannya, selain tak pernah benar-benar menjadi arus utama, pembangunan sektor kelautan dan maritim selama ini tak dimulai dari persoalan yang paling fundamental, yaitu membangun mentalitas dan persepsi yang tepat atas keruangan dan potensi kelautan kita.
Senior Advisor Transformasi, Sarwono Kusumaatmadja, mengatakan, ada ketakrelevanan dalam cara negara ini memersepsi keruangan Indonesia saat ini. Hal itu tampak pada masih dipakaianya konsep trimatra (darat, laut, udara), dalam konsep keruangan kita.
Konsep keruangan yang lebih mengena, kata Sarwono, adalah variabel multimatra, yang terdiri atas sembilan matra, yaitu darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir, dan angkasa luar
Ini, menurut Sarwono, ironis. Kala Presiden Soeharto meluncurkan Satelit Palapa pada dekade 1970-an, sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekadar trimatra. “Hal yang sama saat ini kita mulai lakukan dengan merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Anehnya, tetap saja kita menggunakan trimatra sebagai acuan keruangan sampai saat ini,” ujar dia.
Konsep keruangan ini menjadi penting karena menjadi dasar pembuatan desain kebijakan kelautan dan maritim kita. Pemahaman atas keruangan kekuasaan laut kita akan memberikan kerangka yang tepat mengenai wilayah apa saja yang semestinya dapat kita kelola, pelihara, jaga, dan manfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat, serta strategi kebijakan apa yang paling tepat.
Wilayah kelautan kita tak lepas dari rezim internasional yang berlaku. Karena itu, Sarwono menyarankan agar pemerintah menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS. Hal ini penting artinya bagi efektivitas kedaulatan kita. “Kasus Sipadan dan Ligitan, serta Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari,” kata dia.
Bila semua hal terkait penataan kembali problem kelautan kita tersebut sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun. Kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan persepsi keruangan kita.
Jika kesesuaian itu telah terjadi, maka kebijakan maritim, yang di antaranya meliputi penataan kepelabuhanan, wisata bahari, pengamanan laut, niaga, perkapalan, pemanfaatan dan penjagaan laut, transportasi, dan pengembangan kekuatan angkatan laut, dapat dilaksanakan dengan lebih mudah. Bukankah, semestinya visi maritim adalah turunan dari kebijakan kelautan.  
Dalam kebijakan bahari, kita selama ini kerap rancu antara kelautan dan maritim. Padahal, secara jelas keduanya berbeda cakupan. Belakangan, muncul wacana akan hadir kementerian maritim untuk menggantikan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kerancuan konsep tersebut terkesan sepele, namun sesungguhnya menjadi krusial, tatkala menentukan arah, fokus, dan pembagian tugas dan wewenang dari lembaga yang didirikan untuk mencapai visi kemaritiman. Menjadi penting pula ketika menentukan keahlian, kompetensi, dan kapasitas orang yang berhak menduduki lembaga kemaritiman yang didirikan.
Namun lagi-lagi,  kita masih harus menuntaskan jatidiri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan. Kita juga dituntut memiliki visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma bahari yang rasional dan berwawasan global. Dunia pendidikan masih memberi peluang bagi kita untuk membangun mentalitas bahari itu. Namun, hal terpenting adalah konsistensi pemerintah baru dalam mengimplementasikan visi bahari itu.
(Mohamad Burhanudin, Communication Specialist of Transformasi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar