Jumat, 07 November 2014

Mengembalikan Kejayaan Negeri Bahari

Kompas – Sabtu, 11 Juni 2005
LAUT. Tiga perempat wilayah negeri ini, atau sekitar 5,8 juta kilometer persegi, adalah laut. Tidak berlebihan bila menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu andalan penggerak perekonomiannya. Meski terlambat, telah ada kesadaran bahwa menyia-nyiakan potensi kelautan dan perikanan adalah sebuah kebodohan dan kerugian besar.
KEMBALINYA kesadaran bahwa negeri ini negeri bahari mulai muncul saat kepemimpinan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dimulai dengan membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Terbukti, bila sektor ini diberi perhatian selayaknya, dirancang dengan baik, dikelola sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab, akan memberi manfaat dan dapat diandalkan (lihat tabel).
Perkembangan dalam empat tahun terakhir tersebut belum kondisi optimal yang bisa dicapai sektor ini. Masih sangat besar potensi dan sumbangan yang dapat diberikan kelautan dan perikanan. Perikanan tangkap di laut, misalnya, potensi lestari 6,4 juta ton per tahun, tahun 2003 total tangkapan baru 4,4 juta ton per tahun, berarti masih ada 1,02 juta ton-2,3 juta ton per tahun yang masih belum dimanfaatkan. Sementara di air tawar, tingkat pemanfaatannya baru 400.000 ton per tahun (44 persen) dari potensi produksi lestari 900.000 ton per tahun.
Begitu pula di perikanan budidaya, masih terbuka luas peluang “menggali” manfaat. Di perairan payau, misalnya, realisasi produksi hingga tahun 2003 baru 344.759 hektar, sementara luas potensialnya 913.000 hektar, masih ada peluang pengembangan 568.241 hektar.
Guru Besar Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menyatakan, jika 500.000 hektare digarap untuk usaha tambak udang, dengan produktivitas rata-rata 2 ton/tahun/hektar, produksi nasional akan mencapai 1 juta ton per tahun. “Kalau nilai ekspor udang delapan dollar AS per kilogram, per tahun kita bisa mendapat devisa 8 miliar dollar AS dari udang saja,” tuturnya.
Belum lagi budidaya laut (mariculture). Luas potensial untuk budidaya 24 juta hektar, dengan potensial produksi 46,7 juta ton per tahun, sementara realisasi produksi baru 0,7 juta ton. Artinya, masih ada peluang sekitar 46 juta ton yang belum dilirik. Begitu pula untuk pengembangan komoditas lain. Menurut Rokhmin, ada 10 komoditas unggulan perikanan yang sangat potensial buat Indonesia, yaitu udang, kerapu, kakap, kepiting dan rajungan, rumput laut, kerang mutiara, bandeng, nila, patin, dan jambal daging putih.
Potensi dan peluang masih luas terbentang, namun hanya akan tetap jadi peluang dan potensi bila tidak ada keinginan kuat, kesungguhan, dan kerja keras terus-menerus mewujudkannya menjadi kenyataan serta mengurai satu per satu persoalan yang menghadang.
Keinginan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan dengan melakukan pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan (RPPK), hari ini, Sabtu (11/6), di kompleks Waduk Djuanda di Purwakarta, Jawa Barat, harus dimulai dengan kesungguhan menyelesaikan persoalan yang membelit pengembangan sektor ini.
“Harus ada tujuan jelas dari revitalisasi. Pertama, selesaikan permasalahan yang merupakan carry over dari masa lalu. Dan, kedua, gunakan potensi yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku perikanan agar bisa menyumbang perbaikan kondisi negeri ini,” tutur Rokhmin yang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Permasalahan di sektor kelautan dan perikanan adalah kemiskinan nelayan sebagai pelaku utamanya-65 persen nelayan hidup miskin-begitu pula pembudidaya perikanan tradisional. Terjadi overfishing (tangkap lebih) di beberapa wilayah, kerusakan lingkungan, illegal fishing (penangkapan ikan secara ilegal) terutama oleh kapal asing yang menyebabkan kerugian negara 4 miliar dollar AS per tahun serta kurangnya penanganan dan pengolahan hasil perikanan.
Optimalisasi
Di bidang perikanan tangkap yang diperlukan adalah optimalisasi dengan menata intensitas penangkapan serta menetapkan secara tepat jumlah kapal yang beroperasi agar terjadi keseimbangan sesuai potensi yang ada.
Di sebagian Selat Malaka, pantai utara Jawa, Selat Bali, dan pantai selatan Sulawesi Selatan terjadi overfishing. Untuk itu, harus dilakukan modernisasi armada nelayan tradisional di daerah yang overfishing, dengan memberi pinjaman modal untuk penyediaan kapal ikan bertonase 30 GT berikut alat tangkap yang tepat guna, pelatihan teknis, dan pendampingan manajemen agar nelayan dapat menangkap ikan di perairan yang potensinya masih besar, seperti di kawasan timur Indonesia, Laut Cina Selatan, Zona Ekonomi Eksklusif Internasional (ZEEI) Samudra Pasifik, dan ZEEI Samudra Hindia.
Memberi kesempatan pulihnya stok ikan di daerah overfishing, sekaligus memanfaatkan sumber daya ikan di daerah underfishing yang selama ini dimanfaatkan nelayan asing.
Seiring dengan itu, dilakukan relokasi nelayan dari daerah overfishing ke wilayah underfishing. Peran pemerintah memfasilitasi agar proses ini berjalan partisipatif, nelayan yang pindah dengan masyarakat yang akan menerimanya dapat saling menyayangi dan bukan karena paksaan.
Selain itu, pembangunan permukimannya harus dilengkapi pelabuhan perikanan, sekaligus jadi kawasan terpadu untuk kegiatan ekonomi. Ada prasarana jalan, air bersih, listrik, jaringan telekomunikasi, fasilitas sosial dan umum. Dengan demikian, pemindahan bukan memindahkan kemiskinan, tetapi menciptakan kemakmuran.
“Dan, nelayan yang hijrah harus memiliki keterampilan memadai, produktif, beretos kerja tinggi,” ujar Rokhmin yang saat menjadi menteri telah memindahkan 500 kepala keluarga nelayan dari pantura ke Majene dan Takalar. Idealnya, pantura hanya menanggung 2 juta keluarga nelayan, saat ini ada sekitar 3,9 juta keluarga nelayan yang menggantungkan nafkahnya di Pantura.
Merevitalisasi kelautan dan perikanan tidak berarti tanpa revitalisasi pelabuhan perikanan, dan membangun pelabuhan baru, yang juga menjadi kawasan industri terpadu.
Pelabuhan perikanan itu diperlukan di Bitung untuk peningkatan produksi tuna dan cakalang, Ambon sebagai sentra shasimi tuna, Muara Baru di pantura, Meneng di Banyuwangi, Labuan Bajo (NTT), Biak, Pontianak, Natuna, dan Sabang.
Pentingnya infrastruktur perikanan disadari oleh negara seperti Jepang, yang dengan garis pantai 34.000 kilometer memiliki 3.000 pelabuhan, atau satu pelabuhan per 11 kilometer panjang pantai. Thailand dengan garis pantai 2.600 kilometer punya 52 pelabuhan, atau satu banding 50 kilometer panjang pantai. Indonesia dengan 81.000 kilometer garis pantai hanya punya 694 buah pelabuhan perikanan, artinya satu pelabuhan untuk 115 kilometer panjang pantai.
Di sisi lain, ada kendala yang terkait dengan kebijakan moneter, fiskal, dan investasi yang tidak berpihak pada sektor riil, khususnya kelautan dan perikanan, serta masalah keamanan. Kebijakan yang tidak berpihak tersebut antara lain suku bunga untuk pendanaan sektor kelautan dan perikanan. Di Jepang, untuk pendanaan sektor kelautan dan perikanan, suku bunga kredit tidak lebih dari tiga persen per tahun, begitu pula di Australia dan Thailand yang hanya 3-9 persen.
Selama rezim Orde Baru, hanya 0,02 persen kredit perbankan untuk kredit perikanan. Sementara nilai investasi domestik untuk sektor ini hanya 1,37 persen dan investasi asing hanya 0,31 persen dalam 32 tahun (1967-1999).
Belum lagi tantangan global yang kini harus dihadapi seiring liberalisasi perdagangan dunia, ketatnya persaingan produk perikanan di masa datang yang menuntut ketersediaan produk secara teratur dan sinambung, kualitas yang baik dan seragam, serta tersedia secara massal, dan memenuhi standar kelestarian lingkungan.
Ini sebuah kerja besar. Bukan mustahil untuk diwujudkan, sepanjang ada kesungguhan dan tidak berhenti hanya pada jargon. (Elly Rosita)
http://rokhmindahuri.wordpress.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar